02

34 12 20
                                    

Nabastala sudah waktunya memburam, mega kelabu pun mengikutinya dengan perlahan menghitam. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan dan membasahi kota mahsyur ini.

Daksa Meisya beralih melangkahkan tungkai menuju koridor sekolah yang sudah sepi. Seharusnya ia tidak menolak permintaan Sella untuk pulang bersama dengan supirnya, dasarnya tahu diri, ia melewati hari kesendiriannya bersama hujan yang menakluki bumi.

Meisya menatap cuaca alam sekejap melirik jam tangannya yang bersemayam di hasta kiri. Notasi angka lima menjadi pilihan utama si jarum.

Helaan nafas bergema, "Pasti Ibu akan marah kalau aku pulang telat dengan menunggu hujan reda."

Lantas, Meisya pun berlabuh pada tempat yang sudah disediakan menunggu bus tiba.

Dari pada termenung dengan kesendiriannya, Meisya terduduk di sana dengan mengeluarkan earphone hitam yang sudah lama menemani jiwa. Menyandarkan daksanya pada kursi panjang yang terletak di sana, kemudian terbuai alunan nada klasikal yang memecah keheningan sore.

Spontan adu nada dari lagu disetel dan juga suaranya membuka kebisuan, membuatnya terhanyut gemerlap senja.

Gently caressing zephyrs,
oh fly to my beloved
and tell him I adore him
and to keep his heart true to me.
And you plants and tender flowers
which my bitter tears water,
tell him that you never saw
a love more rare beneath the sky.

---- Zeffiretti lusinghieri|Wolfgang Amadeus Mozart
[Ver. English libretto]

"Kurang menghayati, tetapi 'sedikit' cukup bagus."

Meisya tersentak dikarenakan sebuah suara yang sangat asing di telinga. Lagu yang ia setel tidak bervolume tinggi, namun suara saat ia bernyanyi yang memecah keriuhan.

Saat mata Meisya terbuka, retinanya bergulir pada potret manusia baru saja duduk nyaman di kursi sebelah raga.

Tubuh Meisya membeku, tak tahu harus berbuat apa.

Potret itu, si pria berhoodie hitam, lisannya berkata. "Sore ini kamu sendiri di sini untuk menunggu bus?"

Meisya mengangguk patah.

"Rabu ini... sepertinya akan ada preman kampungan berkeliaran kurang dari satu jam. Kamu sanggup berdiam di sini dalam waktu lama?"

Meisya berkedip, mendengus kesal. "Aku bukan perempuan menye yang bisa kamu remehkan."

"Saya tidak mencelamu. Kamu duluan yang berkata."

"Okay, silakan kamu pergi. Dan jangan ganggu aku, aku sudah terbiasa menunggu bis sendiri."

Pria itu akhirnya menoleh, tampak wajahnya yang apik menyapu sinarnya senja. "Hampir mau jam 6 sore lewat 16 menit, lebih baik kamu kembali ke musholla sekolah untuk bersiap wudhu dan sholat. Saya masih tahu maghrib tiba di jam berapa."

Meisya lekas menyimpan kembali earphone serta ponsel dengan semerawut gundah, menitik tungkainya menuju sekolah dengan tanpa melirik atensi si pria. "Sendirinya saja tidak mengaca, tidak patuh dengan Allah."

Lalu si pria masih mendengar amat sangat baik gumaman Meisya, senyum kurvanya yang langka tiba-tiba terbit hanya karena perempuan itu. "Bila kamu tahu, saya orang kristen."

[.]

Maghrib pun tiba.

Setelah Meisya merapikan seperangkat alat sholat, ia terjengkang saking terkejut ketika potret manusia tidak sopan itu sedang bersandar di daun pintu musholla.

"Ngapain kamu masih di sini?!"

Pria itu masih berwajah datar, "Sekolah ini bukan punyamu. Saya bebas ke mana saja."

"Bilang saja kamu menguntitku!"

"Tidak, tepatnya saya menunggu kamu selesai. Karena bus yang kamu tunggu sedang menurunkan beberapa orang di halte."

"Cih!" Cibir Meisya, sebelum kemudian beranjak gesit untuk keluar. Menabrak brutal bahu si pria lalu berlari untuk tidak ketinggalan bus.

Sepertinya Meisya tidak sadar, pria berhoodie hitam itu tengah menyesap tetesan darah di bibir sembari menyentuh lebam rahangnya.

Preman kampungan itu ternyata lebih cepat dari yang ia kira.

.
.
.

[Tbc.]

Lanjut?

[2] Blue and Grey | JAKE ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang