38. Cukup kau di sampingku

6 2 0
                                    

~Jika bertemu untuk berpisah, maka pertemuan itu hanyalah masa lalu. Namun, jika berpisah untuk bertemu, apakah itu takdir? Jika tidak kedua-duanya, apa yang bisa diharapkan?~

***
Melihat mereka terus adu mulut padahal punya tujuan sama, pihak pengadilan agama berpikir kalau memang perceraian adalah jalan yang tepat untuk mereka.

"Sudahi pertengkaran kalian, lanjutkan kehidupan kalian masing-masing dengan yang baru." Pihak pengadilan agama melerai mereka. Mereka langsung diam.

Keheningan tercipta. Pihak pengadilan agama menyerahkan surat keterangan sudah nikah siri juga pernyataan cerai nikah siri.

"Mohon tanda tangan."

Imaz mengambil pena di sebelahnya. Menyetujui surat tersebut. Berikutnya, Robet yang menanda tangani. Ayah Robet menuntunnya. Tanda tangan yang tercantum di atas kertas dan dibubuhi materai menjadi sejarah mereka berpisah. Bukan lagi menanda tangani buku nikah.

"Terima kasih telah melalui sidang isbat. Dimohon kalian ke tempat persidangan guna melakukan sidang keputusan."

Mereka beringsut keluar dari ruang sidang isbat. Penjaga keamanan mengiring mereka ke tempat persidangan. Disana tidak banyak yang ikut. Jika mereka melakukan pernikahan siri, maka sidang juga harus tersembunyi.

Terdapat dua kursi di depan hakim. Imaz tertatih menatap dua kursi secara terpisah. Ia tak pernah merasakan bagaimana perasaannya ketika berada di pelaminan. Ia duduk. Seolah-olah yang ada dalam bayangannya, dia duduk bersanding dengannya dan berhadapan dengan penghulu. Namun, kenyataan tak semanis ekspektasi. Fatamorgana meracuni realita. Bahwa yang terjadi ternyata duduk terpisah dengan suami dan berhadapan dengan hakim.

Bukan lagi mengucap ijab kabul. Melainkan mendengar ketuk palu. Bukan lagi mendengar kata sah. Melainkan melihat tepuk tangan. Dan bukan lagi mengamini doa barokallahumma laka. Melainkan mengamati pengunjung yang berangsur keluar dari ruangan.

Semua yang di ruangan, khidmat menunggu kedatangan majlis hakim. Imaz tak dapat mengontrol detak jantungnya. Ia gelisah. Serasa dunia dan seisinya menjatuhkan mentalnya. Padahal dahulunya dia telah menjatuhkan hati padanya tanpa melihat dunia dan seisinya.

Suara derit sepatu hitam klemis terdengar dari luar. Sosok-sosok berjubah hitam membawa kabar keputusan. Majlis hakim datang dengan membawa wajah seriusnya. Disusul panitera, penuntut umum dan penasehat hukum. Mereka duduk dengan berwibawa.

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh..." hakim ketua mengucap salam sambil merapikan jubah hitam kebesarannya.

"Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh..." seisi ruangan menjawab dengan kompak.

"Sidang dengan no. perkara 256/ Pdt.G /2012 /PA. Jakarta, Jum'at 31 Desember 2021. Sidang terbuka untuk umum." Ketua hakim mengetuk palu satu kali.

"Penggugat atas nama Muhammad Robitus Sholihin dan tergugat I'timadus Salik, selamat telah datang di ruang persidangan," kata Panitera.

"Saudara penggugat, benar nama anda adalah Muhammad Robitus Sholihin?" Hakim ketua bertanya.

"Benar, pak hakim." Robet menjawab dengan tegas.

"Saudari penggugat, apakah benar yang sekarang menjadi tergugat adalah istri anda?"

"Iya, pak hakim."

"Saudara tergugat, benar nama anda adalah I'timadus Salik?"

"Iya, pak hakim." Imaz menjawab.

"Saudara tergugat, apakah benar yang sekarang menjadi penggugat adalah suami anda?"

Meeting You Untill DeadWhere stories live. Discover now