44. Satu Bukti

49 9 0
                                    

Hai, apa kabar?

Seneng bisa update lagi

Oh, ya, makasih buat kamu yang masih setia baca cerita LEONARDO sampai bagian ini

Gak kerasa bentar lagi mau ending

Pastinya kamu udah siap dengan akhir dari cerita ini, kan?

---

"Nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi."

"Argh!"

Ponsel yang semulanya Leon genggam, kini benda pipih itu beralih ke tempat tidur saat Leon melemparnya lantaran kesal. Laki-laki itu menjambak rambutnya, frustrasi.

Puluhan kali Leon menghubungi nomor Divia, tapi nomor gadis itu tidak bisa dihubungi. Rentetan pesan yang Leon kirim pun tak kunjung ada balasan dari gadis itu.

Malam ini, kegelisahan menyelimuti Leon. Dia takut, takut kalau yang mereka ucapkan itu benar. Tidak. Tidak mungkin Divia memanfaatkannya. Memangnya, Divia tahu apa tentang hubungan Leopard dengan Volker?

Dan, memangnya, Leon tahu apa tentang Divia?

"Gak mungkin," Leon menggeleng dengan mata yang terus tertuju ke cermin yang memantulkan dirinya, "gak mungkin kamu ada hubungannya sama Volker, Div. Gak mungkin kamu ngelakuin ini."

Divia itu cantik. Sifat anggunnya tidak mungkin membuat gadis itu terlihat kejam seperti ini. Tidak. Itu hanya asumsi mereka saja yang tidak suka dengan Divia. Tapi... Leon juga sadar, kejadian kemarin ada yang janggal.

Suara dering ponsel terdengar, membuat si pemilik benda tersebut dengan sigap mengambilnya. Harapan Leon pupus ketika nama Daniel lah yang terpampang di layar ponsel. Padahal dia berharap kalau Divia yang meneleponnya.

"Bos, buruan ke markas! Ada hal yang perlu kita bicarain."

Leon mengangguk, yang padahal jelas Daniel tidak akan bisa melihatnya. "Gue ke sana sekarang."

---

"Theo butuh donor jantung, kita harus cari secepat mungkin. Tapi sebelum itu, kita harus cari tahu dulu siapa Divia sebenarnya."

Dentuman dari meja membuat mereka yang ada di dalam markas terlonjak kaget. Leon lah yang telah menggebrak meja.

Leon berdiri, matanya menyorot Liam dengan sorot protes. "Kenapa harus Divia lagi? Belum puas lo nuduh cewek gue?!"

"Bang, kita selidiki dulu apa salahnya? Kalau misal tuduhan kita bener, lo mau apa? Masih mau lo jalin hubungan sama cewek sialan itu?"

Semua orang menyetujui ucapan Lingga. Katakan kalau Lingga ini tidak tahu diri. Dulu Leon pernah membelanya dari banyaknya mulut yang mencemooh, tapi Lingga tidak bisa balas membela Leon saat laki-laki itu diserang sendirian. Tapi Lingga juga satu pendapat dengan yang lain, dia tidak akan pernah membela yang salah. Ini bukan salah Leon, ini salah perempuan itu.

"Divia cuma orang baru," kata Liam. "Gue tahu lo jadiin dia cewek lo, karena terpaksa harus ngelindungin dia dari hujatan anak Mahes, kan? Biar Divia gak dituduh perusak hubungan lo sama Eliza."

Leon terdiam.

"Atau karena lo jadiin dia sebagai pelampiasan?"

Leon mendelik pada Liam. "Gue gak pernah perlakuin cewek kayak gitu!" katanya dengan penuh penekanan.

"Seberapa penting Divia buat lo?" tanya Yuda, "dia cuma orang baru, Bang. Apa lo gak mikirin gimana keadaan Bang Theo sekarang?"

---

Banyak beban yang dipikul Leon. Banyak pertanyaan yang hinggap di kepalanya. Satu permasalahan belum mampu dia selesaikan.

Mereka belum mendapat pendonor yang cocok untuk Theo. Mereka juga belum memastikan kecurigaan mereka terhadap Divia itu apakah benar, atau tidak.

Leon kembali teringat, insting Liam tidak pernah meleset. Setiap apa yang laki-laki itu rasakan, pasti benar akan menjadi kenyataan. Seperti tempo dulu, waktu Liam melarangnya untuk balapan. Apakah, kali ini akan benar menjadi kenyataan?

Leon memberhentikan motor gedenya di tempat yang tidak terlalu jauh dari kediaman Divia. Sepi. Hanya itu yang Leon dapat saat matanya terus menelisik rumah tersebut.

Baru akan menyalakan motornya kembali, Leon mengurungkan niatnya. Tangannya mengucek mata— memastikan apakah yang dia lihat ini sungguhan, atau hanyalah ilusi semata?

Tidak. Leon tidak salah lihat.

Motor itu, Leon tahu siapa si pengguna motor yang berhenti di halaman kediaman Divia. Saat si pemilik motor membuka helm, Leon semakin tidak bisa menampik kalau ini bukanlah ilusi semata.

Jantung Leon semakin berdebar kencang. Matanya tidak sedikitpun beralih ke arah lain. Dia, laki-laki itu, berdiri di sana. Lantas, Divia datang membuka pintu dengan senyum yang mengembang.

Leon tambah tidak percaya. Divia memeluk laki-laki itu. Sangat erat.

"Brengsek!!!"

---

Langkah orang yang terlihat buru-buru, membuat Bagas tergerak untuk mengikutinya. Sering kali orang itu celingukan—seperti maling yang memastikan keamanan. Bagas berjalan dengan hati-hati, supaya dia tidak dicurigai karena mengikuti orang tersebut. Iris Bagas mengedar, tidak salahkah orang itu berkunjung ke tempat ini?

Tempat yang memang jarang atau bahkan tidak pernah dijamah sama warga SMA Maheswari, membuat Bagas bertanya, "Ngapain itu cewek ke gudang?"

Mencari jawaban akan pertanyaannya, Bagas mendekati pintu masuk sebuah bangunan tempat menyimpan barang-barang bekas yang tampak kotor tersebut. Sedikit dia membuka pintu gudang yang tadi sudah ditutup, matanya menelisik orang yang berada di dalam sana. Dia menemukan orang itu tengah bercakap-cakap lewat sambungan telepon.

Bibir Bagas mengukir senyum menyeringai. Segera, laki-laki itu mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam saku celana abunya. Bagas tidak bisa mendengar pembicaraan orang di balik sambungan telepon itu, tapi Bagas dapat menangkap dengan jelas suara orang yang ada di dalam gudang tersebut.

"Nyingkirin orang-orang lemah doang mah gampang. Kalau gak ada gue, kemenangan gak akan pernah berpihak sama lo."

Orang itu tertawa, membuat Bagas yang menguntitnya menahan amarah.

"Lo tenang aja, orang-orang bodoh itu gak akan tahu kalau gue ada kongkalikong sama lo."

Bagas menyudahi rekaman di dalam ponselnya, bersamaan dengan orang itu yang menutup teleponnya. Setelahnya, Bagas buru-buru pergi dari sana dengan membawa satu bukti yang akan membawa nasib orang itu ke depannya akan seperti apa.

Orang-orang bodoh? Bagas tersenyum sinis. Setelah ini, mari kita lihat, siapa yang bodoh.



LEONARDO [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang