fünf🔞

5.5K 368 29
                                    

"Kawaki?" Suara Naruto membuat Kawaki menoleh panik. Dilihatnya wajah Naruto yang menilik curiga pada gerak-gerik yang Kawaki lakukan.

"Ah, maaf aku tidak bermaksud lancang. Aku pikir ini hanya ruangan biasa." Naruto menyipitkan matanya, tetapi ia berusaha menghilangkan berbagai curiga yang datang.

Naruto bukan orang bodoh, dia tahu sesuatu telah Kawaki lakukan. Tapi tidak mungkin ia menuduh anak yang telah menolong putrinya hanya karena kecurigaannya semata.

"Baik, ayo turun. Hinata sudah menyiapkan banyak makanan di meja."

Kawaki berjalan dengan detak jantung tak beraturan. Ia terus mengumpat dalam hatinya, berharap rencananya ini tak akan gagal apapun resikonya.

Hinata pun mempersilahkan seluruh anggota keluarga juga Kawaki untuk duduk di kursi yang ditata melingkar. "Kau sekolah dimana, Kawaki?" Hinata membuka percakapan.

"Kebetulan aku sekelas dengan Boruto di Konoha High School." Boruto memandang Kawaki tidak suka.

"Kawaki-kun, kenapa di hari Minggu tidak berkumpul dengan keluarga?" Pertanyaan yang dilontarkan Himawari memberi Kawaki ide untuk menutupi kecatatan eksekusi rencananya.

Kawaki tahu persis,sebuah rencana tidak akan selalu berjalan sempurna, yang bisa kita lakukan hanya memperbaikinya. Dan ini saat yang tepat untuk itu.

"Ibuku pergi meninggalkan ayahku ketika aku berumur empat tahun akibat kebangkrutan yang ayahku alami. Setelah itu, ia menjadi orang yang sangat tidak stabil dan sering mabuk-mabukan. Aku sangat membenci hari libur karena itu membuatnya memiliki waktu lebih banyak untuk menyiksaku."

Keheningan terjadi di meja makan. Bahkan suara dentingan sendok dan piring pun tidak lagi terdengar. Kawaki merasakan usapan lembut dari orang di sebelahnya. "Kawaki, kau anak baik. Mulai sekarang jika kau perlu sesuatu, bicaralah pada kami. Anggap kami keluargamu." Naruto berkata lembut diiringi dengan anggukan setuju Hina dan Hima.

Ucapan Naruto membuat Kawaki harus mampu menahan senyum penuh kemenangannya. Bermain simpati memang strategi yang sangat cocok untuk menghadapi orang seperti Naruto. Orang pintar dan sukses sepertinya tidak akan mudah Kawaki manipulasi hanya bermodalkan harta dan kecerdasan, ia harus mampu sebaik mungkin memanipulasi sisi psikologisnya.

Senyuman Kawaki membuat Boruto kesal setengah mati. Rasanya ia ingin menusuk wajah palsu itu dengan pisau yang ia genggam di tangan kanannya saat ini juga. Kalau pun melindungi Naruto harus dengan mengotori tangannya, ia akan melakukannya dengan suka rela. Tetapi ia tahu, hal itu bukan langkah yang tepat sekarang. Jangan sampai ia termakan umpan yang Kawaki berikan.

Kawaki menghabiskan waktu liburnya hari itu bersama keluarga Uzumaki. Menemani Himawari bermain bersama anjingnya, membantu Hinata membersihkan kebun, dan juga berolahraga di gym pribadi bersama Naruto.

Hingga malam pun tiba. "Maaf, sepertinya saya harus pulang tante."

"Tidak terasa sudah malam, ya. Jika kau tidak sibuk, sering-seringlah bermain kemari. Kami akan senang menyambutmu." Hinata tersenyum hangat. Menurutnya, Kawaki anak yang sangat baik. Cukup mengejutkan melihat tingkah lakunya sangat mengingatkan Hinata pada anak lelaki satu-satunya-Boruto.

Naruto yang sedang menyantap ramen pun terkejut melihat Kawaki sudah ingin berpamitan. Rasanya ia ingin menahan Kawaki pulang agar tidak perlu mendapat kekerasan dari ayahnya itu. "Kuantar menggunakan mobil, ya?"

Senyum licik Kawaki sembunyikan dengan anggukan ramah atas penawaran Naruto.

Sebelum pergi ia menyempatkan diri untuk menengok Boruto yang hanya menunjukkan ekspresi masam sejak kehadirannya. "Aku pergi dulu, Boruto. Sampai ketemu di sekolah."

Game of Obsession [End]Where stories live. Discover now