zehn

1.8K 225 25
                                    

Kawaki berlari keluar gudang dengan jantung yang berdetak tidak karuan. Dadanya terasa terhimpit batu besar yang membuatnya sulit bernapas.

Masih terekam dengan jelas tubuh Naruto yang berdarah hebat menembus kemeja putihnya. Wajah yang pucat, mata yang menutup, ekspresi yang tidak memancarkan kehidupan.

Bukan! Bukan ini yang Kawaki inginkan! Kawaki ingin kembali memutar waktu, mengurunkan keputusannya untuk menggunakan senapan api itu.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Harusnya Boruto sialan itu yang mati sekarang, bukan Naruto! Andai saja Kawaki menyadari kehadiran Naruto sebelumnya. Mungkin kematian Naruto dapat ia hindari.

Namun nasi telah menjadi bubur. Kawaki tahu kalau ini merupakan konsekuensi yang harus ia terima atas keegoisannya. Keegoisan yang membutakan segalanya. Yang membuatnya menghalalkan segala cara sehingga buta untuk membedakan kebenaran atau kesalahan.

Tapi apa yang harus Kawaki lakukan tanpa cahayanya sekarang? Cahaya yang menerangi hidupnya dan memberikannya tujuan.

Orang yang menjadi alasannya untuk hidup sudah tidak ada. Orang yang memberikannya cahaya di hidupnya yang gelap sudah tidak mampu menghangatkan hatinya lagi. Mataharinya telah mati.

Diambilnya pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Kawaki mengistirahatkan kaki yang sudah tak mampu berlari. Dia menangis meratapi kehilangan terbesar yang ia alami.

Tak pernah Kawaki bayangkan jika ia akan merasa kehilangan. Seumur hidupnya, ini merupakan kehilangan terbesar yang pernah Kawaki alami.

Meskipun ayahnya baru melakukan penyiksaan ketika ibunya pergi, tetapi sebenarnya tidak pernah Kawaki rasakan kebahagiaan sejak lahir.

Ibu dan ayahnya memang selalu bertengkar di depan matanya. Kawaki tidak pernah merasa memiliki sesuatu, atau ingin memiliki sesuatu. Baginya yang terbiasa dengan ketidakbahagiaan, rasa ingin memiliki adalah musuh terbesarnya.

Semakin ia ingin memiliki maka ia akan semakin berusaha. Dan semakin ia berusaha, akan semakin besar pula kesedihan yang ia rasakan jika tidak mampu memiliki hal tersebut.

Tetapi apa daya, kasih sayang tulus yang Naruto berikan membuatnya begitu mendamba rasa itu lagi. Terlalu dalam hingga ia ingin memiliki Naruto seutuhnya untuk dirinya sendiri.

Kawaki memutar otak, ia tak akan membiarkan cahayanya redup. Kalaupun ia hanya akan bercinta dengan mayat, ia tak peduli. Naruto—entah jiwa atau raganya, harus ia dapatkan.

Ditekannya layar ponsel menuju panggilan seseorang di sana, "Halo, Amado? Aku ingin bertemu sekarang."

.

Seorang pria berambut putih dengan kacamata hitam berbetuk kotak yang bertengger di matanya berjalan perlahan. Menghampiri Kawaki yang sedang duduk menghentak-hentakkan kaki tanda tak tenang.

"Hei bocah, apa kau punya barang bagus lagi?" Tanya pria tua dengan jas putih itu.

Kawaki mengenal Amado di pasar gelap internet. Sebagai dokter, Amado sangat tahu harga organ maupun bagian tubuh manusia dan peran pentingnya untuk menunjang karir.

Amado membutuhkan berbagai hal illegal sebagai bahan eksperimennya. Tetapi kesuksesan memang tak bisa dicapai dengan kemudahan. Reputasinya sebagai dokter akan hancur jika ia mengerjakan semuanya sendiri.

Kabar baiknya manusia merupakan makhluk sosial. Kekurangan yang seseorang miliki dapat ditutupi dengan kelebihan manusia lain. Simbiosis mutualisme ini juga terjadi pada Amado dan Kawaki. Amado punya uang dan Kawaki mempunyai keberanian. Kedua hal yang akan sangat berbahaya jika disatukan.

Semenjak bertemu dengan Naruto, Kawaki sudah membulatkan tekad untuk menyiapkan segalanya, termasuk uang. Otaknya sudah tidak peduli dengan istilah halal dan haram. Apapun akan ia lakukan untuk mendapat apa yang ia inginkan.

Game of Obsession [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang