32. Awal baru

13 4 10
                                    

Cinta? Sebuah perasaan yang tak pernah bisa diprediksi kapan, di mana, dan dengan siapa kita akan merasakannya. Bahkan, ketika akal menolak mencintai. Namun, hati akan tetap terpaut di dalamnya. Sekeras apa pun menghindarinya, cinta itu akan hadir dengan sendirinya. Bahkan, tanpa kita sadari.

Ranesha menarik napas panjang, dan membuangnya perlahan. Berulangkali dia melakukannya. Kenyataan yang dia ketahui melalui Daisy membuat darahnya mendidih. Terlepas dari semua yang terjadi, dia tidak membenci Chalisto. Perempuan itu hanya marah dan kesal. Marah dengan perjanjian konyol yang dibuat Chalisto dan kakaknya.

"Chalisto–nya ada, Pak?"

Satpam penjaga rumah mengangguk, membuka lebih lebar gerbang setinggi lima meter tersebut, mempersilakan Ranesha untuk masuk. Begitu dirinya sampai di lantai atas, seorang pelayan berdiri di depan kamar Chalisto. Ditangannya terdapat nampan berisi makanan.

Dibanding dengan pelayan lain yang pernah dia temui, ketika berkunjung ke rumah ini, pelayan inilah yang paling menor. Pakaiannya pun terkesan kurang bahan dengan potongan rok setengah paha, dan belahan kerahnya yang terlalu terbuka.

"Tuan Chalisto sedang sibuk. Beliau tidak ingin diganggu."

"Boleh tolong bilang ke Chalisto, saya—Ranesha mencarinya."

"Memangnya saya pelayan kamu?"

Perempuan itu mendengus, rambut kepang duanya berayun ketika dia meletakkan nampan di atas nakas. Dia menatap Ranesha kembali. Melirik dari ujung kaki hingga ujung kepala. Berulangkali, matanya memerhatikan.

"Saran saya, lebih baik kamu pergi dari sini. Lagi pula, perempuan kayak kamu nggak usah sok berharap ketemu tuan Chalisto!"

Senyum sinis di bibir dengan lapisan lipstik merah cabai itu, membuat Ranesha jengah melihatnya. Sejak tadi, pandangannya begitu meremehkan seolah apa yang dia lihat tak ubahnya barang yang tidak bernilai sama sekali.

"Tante," tekanan dalam nada suaranya, membuat perempuan itu membeliak marah. Kedua tangannya mengepal, wajahnya menatap marah ke arah Ranesha.  "Siapa pun saya, anda tidak berhak untuk menghakimi. Tugas anda hanya menyampaikan pesan untuk pemilik rumah ini."

"Cih , kau pikir Chalisto mau dengan perempuan sepertimu? Urakan, tidak tau merias diri. Asal kau tahu, semua perempuan yang menyukainya adalah pebisnis dan model kelas atas. Cantik dan kaya. Lihat dirimu! Seperti gembel!"

Ya Tuhan, dia hanya ingin bertemu dengan Chalisto. Tapi, kenapa justru bertemu dengan perempuan sinting ini. Semakin ditanggapi justru semakin menjadi. Menarik napas panjang, kakinya melangkah mendekati pintu. Tidak lagi menggubris perempuan itu.  Ranesha menunduk, menyamakan posisi matanya dengan benda persegi di sisi kiri pintu. Namun, belum sempat bola matanya dipindai dengan sempurna, tubuhnya ditarik dan dihempaskan dengan begitu kasar.

"Apa yang kau lakukan!"

Dia tersentak, melangkah mundur ketika melihat Chalisto berdiri di ambang pintu.

Chalisto melangkah mendekati Ranesha, dan meraih dalam gendongannya. Dia menoleh, mendengus kesal melihat ketakutan yang begitu jelas. Perempuan itu, baru bekerja belum genap seminggu di rumah ini, untuk menggantikan pelayann lain yang sedang cuti.

"Louise." Chalisto menatap tangan kanannya. "Urus dia!"

Begitu tubuh Chalisto hilang di balik pintu, Louise menghela napas. Dia menatap pelayan baru tersebut seraya menggeleng. "Seharusnya, kau tidak menyentuh calon istri tuan Chalisto."

Dia dalam ruangan, Chalisto mendudukkan Ranesha di atas meja kerjanya. Laki-laki itu tersenyum, merapikan anak rambut yang menghalangi sinar di wajah perempuan di depannya.

Secret Family (REVISI)Onde histórias criam vida. Descubra agora