Naomi cukup terkejut mendengar pengujaran Brielle yang begitu santai, namun lebih tepatnya lagi seperti berserah. Memandang wanita berdaster biru itu dan membiarkan Brielle mengambil kue tart yang ditaburi potongan stroberi, anggur, dan nanas dari lemari pendingin. Ia pun kembali bertanya ketika Brielle duduk lagi di sebelahnya, "bagaimana dengan Leonardo?"
Lagi-lagi itulah yang membuat Naomi cemas. Relasi Brielle dengan lelaki yang sangat dicintainya itu tak boleh kandas. Naomi bertanya ketika Brielle menoleh, "hubungan kalian akan berlanjut 'kan, Elle?"
Dengan satu tarikan napas, Brielle menggeleng. "Seperti yang kemarin-kemarin aku bilang, aku ingin semuanya berakhir."
"Kau kejam, Elle!" sentak Naomi yang tiba-tiba bangun dari kursi makan lalu meninggalkan Brielle yang menahan rasa sakit di hatinya dengan memasukkan sesendok kue ke mulutnya sendiri tanpa melihat wajah marah Naomi.
"Kau keterlaluan! Kalau tahu akhirnya akan mengecewakanku seperti ini, tidak sudi aku membiarkan Leonardo mendekatimu saat dulu!" tambahnya lagi sambil berlalu sebelum dua tangannya menjambak rambut Brielle. Ia pun angkat kaki dari dapur dan memilih masuk ke kamar dengan muka merah dan mata berair. Menangis di dalam kamarnya.
Tinggallah Brielle di meja makan sendirian. Ia mengusap mulutnya setelah menelan kue yang baru saja ia kunyah. "Aku tidak pernah memintamu untuk memberikan Leonardo padaku," lirihnya yang juga sudah menangis. "Kau sendiri yang mengizinkan Leonardo untuk mengenalku."
Teringat dulu, Naomi yang mendukung hubungannya dengan Leonardo. Memang, Leonardo terlihat begitu perhatian dan menyukainya, tapi tidak dengan Brielle yang menganggap Leonardo hanya teman biasa. Terlebih lagi Leonardo mantan dari sahabatnya sendiri, Brielle hanya berusaha bersikap biasa saja.
Sampai akhirnya Naomi yang memintanya untuk membalas perasaan Leonardo, dan di situlah Brielle berusaha membuka hati. Meski sudah pernah jujur pada Naomi kalau dia hanya menyayangi Leonardo sebagai kakak, Naomi tetap memintanya menerima lamaran Leonardo. Hingga beberapa waktu dihabiskan Brielle dengan Leonardo pun, Brielle tak berhenti mencoba untuk mencintai Leonardo sepenuh hati.
"Meskipun sulit, kau terus memaksaku." Brielle bangun dan mengelap air mata yang menetes di salah satu pipinya. Meninggalkan kue tart buah itu di atas meja makan, ia memutuskan masuk ke kamar.
Melirik pintu kamar di sebelah ruang tidurnya, ia berucap lirih, "lain kali jangan berani-beraninya memaksa hati seseorang."
Air matanya kembali turun begitu dua tangannya menyentuh dada. Perasannya sakit kala Naomi mengatainya kejam, begitu menusuk di telinga dan hatinya. Apa benar dirinya sekejam itu?
Leonathan yang baru saja keluar dari kamar mandi, dikejutkan oleh panggilan telepon. Ia yang masih memakai celana tidur hitam itu pun menaruh kembali atasan kotak-kotak hitam ke atas ranjang. Menggapai ponselnya di nakas, ia menyapa sang adik, "halo, Nard? Ada yang kau butuhkan?"
"Tidak, aku hanya ingin bercerita saja."
"Tentang?" Leonathan tanpa mengenakan atasan berjalan ke pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Ia menggeser pintu dari kayu di depannya sembari menunggu adiknya berbicara, karena kini hanya tarikan napas dan hembusannya yang masih didengar. "Kau baik-baik saja?"
"Iya, aku baik. Cuma ... aku rasa ada yang tidak biasa dengan kekasihku."
"Tidak biasa?" tanya Leonathan yang mulai tertarik dengan ucapan dari sang penelepon. "Maksudmu tidak biasa yang bagaimana?"
"Dia jarang menjawab pesan dan telepon dariku, Nath." Leonathan mendengarkan sang adik dengan saksama dan memintanya untuk lanjut bercerita. "Sejak kemarin dia terlambat menjawab pesanku. Dari pagi sampai sore tidak balas. Malam ini pesanku tak kunjung dibalas, Nath. Tidak biasanya dia bertingkah seperti ini, ditambah lagi kalau aku pergi ke luar kota."
"Mungkinkah dia ada yang lain?"
"MAKSUDMU SELINGKUH?!" Mendengar teriakan adiknya, Leonathan refleks menjauhkan ponsel dari telinganya. Mengaduh kesakitan, ia juga memberi Leonardo peringatan. "Pertanyaanmu yang tidak bisa kau jaga, Nath! Mana mungkin dia berani melakukannya!"
Leonathan terkekeh dan sedikit tertawa. "Kau terlalu berlebihan," meluncurkan dehaman. "Bisa saja dia kelelahan atau sedang ada masalah. Bukankah selama ini hubunganmu tidak ada masalah?"
"Kau benar." Leonathan mendengar helaan napas lagi dari seberang, ia tahu bahwa adiknya itu begitu takut kehilangan kekasihnya. Siapa yang tidak khawatir dan sakit hati jika orang yang kita cintai meninggalkan kita? Karena itulah, Leonathan berusaha memberikan kalimat positif, setidaknya untuk menangkan Leonardo. "Ya, mungkin dia sedang ada masalah pekerjaan. Kita tidak pernah tahu."
"Sudah? Hanya itu?"
"Doakan supaya hubunganku terus berlanjut sampai pernikahan dan hidup bahagia bersamanya, Nath."
"Kenalkan dulu padaku," balas Leonathan diiringi tawa kecil yang membuat adiknya turut tertawa. "Jika aku sudah tahu bagaimana orangnya, dan perempuan itu terbaik untukmu, kujamin ... restuku bersamamu."
"Baiklah, kita tunggu waktu yang tepat. Selamat malam dan selamat beristirahat, Nath."
Leonathan mengucapkan kalimat penutup yang sama, setelah itu dia yang memutuskan panggilan. Menatap hamparan bintang di langit malam Kota Semarang, Leonathan meregangkan otot-ototnya dan tersenyum. Senyum yang sangat tipis itu ditemani dengan mata yang berkaca-kaca. "Sudah tiga tahun aku mencarimu, tapi kau tak kunjung menampakkan diri di depanku, Elle. Apa kau tidak merindukanku?"
Memutar bada, ia mendekat ke arah meja dan kursi balkon. Duduk di sebuah kursi yang berbahan dari rotan, Leonathan menengadah. Tatapannya tak berhenti menatap indahnya langit yang bertabur bintang dan ditemani bulan yang begitu terang. "Haruskah aku menyerah?"
Begitu bimbang, tapi dia menemukan jalan buntu. Tak ada harapan, tidak ada tanda-tanda dia menemukan Brielle. Bahkan selama ini cuma kabar yang sama yang dia terima, Brielle belum ketemu ataupun terlihat. "Apakah tahun ini waktu yang tepat untukku melupakanmu?" Karena tujuan Leonathan menetap di Semarang adalah memulai hidup yang lebih tenang dan tentunya masih mencari sosok penghuni hatinya. Jika sampai tahun ini berakhir dan dia belum bisa menemukan Brielle, ia benar-benar akan menghentikan usaha kerasnya selama ini.
Memejamkan matanya, pikirannya berusaha membawa Leonathan ke masa lalu. Kembali terulang lagi pengenalannya dengan Brielle yang begitu langka di hidupnya. Sekali tatap saja. Ya, jantungnya berdegup kencang kala sosok Brielle tertangkap mata. Melalui tatapan itu, hatinya terikat pada wanita asli Indonesia. "Kau menghilang terlalu lama, bisakah malam ini saja kau masuk ke dalam mimpiku, Elle?" Bangun dari tempat duduk, Leonathan menggenggam ponsel dan masuk kembali ke kamarnya. Memakai atasan, ia berniat turun ke dapur untuk mengambil minum sebelum memeriksa ponsel, mencari ide untuk menambah menu di toko es krim dan wafelnya.
Namun, kala beberapa menuruni tangga, handphone di tangannya bergetar. Leonardo, sang adik mengirimkannya sebuah pesan yang mengejutkan saat ia membaca pesan singkat. Hanya satu kalimat saja. Ia pun menghubungi Leonardo yang diyakininya tengah hancur. "Dia ingin putus? Kau yakin, Nard?" Leonathan yang terkejut itu bahkan tak jadi turun, hanya berhenti di tempatnya berdiri sekarang. "Mungkin kau salah dengar."
"Tidak. Kembalilah ke Bali kalau kau ingin, Nath." Kemudian sambungan diputus sepihak oleh Leonardo yang suaranya begitu serak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Look at Me, Elle
RomanceLeonathan tidak berhenti menghentikan kaki demi mengejar perempuan yang selama ini dia cari. "Bicarakan ini baik-baik, Elle. Dia juga membutuhkanku untuk tumbuh. Jangan bersikap egois, aku juga orang tuanya." Brielle memutar badan ke belakang, lalu...