Dua

28 5 2
                                    

Ucapan Samira membuat pikiranku heran. Memang benar Mentari tidak bilang bahwa kami menyamar, tapi dia juga mengubah wujudnya agar menyerupai penghuni daerah ini. Tidak tahu cara membalas, aku memilih diam meski tidak bermaksud ingin terlihat mengabaikannya.

Keheningan berlanjut, dia bahkan tidak lagi menatapku. Tanda betapa canggungnya situasi ini. Langsung saja aku berharap agar Mentari segera datang dan menjemputku. Namun, beberapa menit berlalu, tidak ada tanda-tanda kemunculan darinya.

Samira akhirnya mendapat minumannya. Mentari memesankan cairan warna cokelat dengan bau yang harum seperti campuran dedaunan dan bunga.

"Dia memesankan teh?" Samira menatap minumannya.

"Teh?" Aku membeo.

"Kamu tidak tahu apa itu 'teh'?" Samira bertanya, dari nada bicara tidak terkesan merendahkan, tapi terdengar seperti memastikan.

Aku mengiakan, muncul secuil rasa malu. Baru beberapa saat turun ke bumi, sudah banyak nama yang belum kutahu.

"Aku kira para dewa meminum teh di surga," sahut Samira.

"Begitu cara kalian membayangkan para dewa?" tanyaku.

"Kurang lebih." Dia menjawab. "Aku selalu membayangkan para dewa sedang bercengkerama di surga sambil menikmati minuman layaknya penghuni dunia."

"Kami tidak butuh makan dan minum," sahutku.

Samira terdiam sejenak. "Apa kalian juga butuh tidur?"

"Terkadang," jawabku. "Kami hanya butuh ketika kehabisan tenaga, kadang kami hanya menghilangkan kesadaran sejenak sebelum akhirnya sadar kembali."

"Berarti kalian juga butuh, walau tidak seperti kami." Samira menegak minumanya. "Apa kalian juga bisa merasakan sakit?"

Sejauh pengalamanku terjatuh ke bumi, aku hampir tidak merasakan apa-apa, meski pakaianku saat itu menjadi kotor, sekarang bisa dengan mudah aku ubah pakaianku menjadi bersih kembali. Tidak, aku tidak merasakan sakit, hanya takut karena telah mendarat di tempat yang tidak kutahu. Tapi, apa itu jawaban yang bagus? Sepertinya dia perlu menanyakan ini pada Mentari.

"Aku belum mengalami," jawabku, memilih pilihan yang aman. "Ini kali pertama aku ke sini."

"Begitu." Samira menatap ke belakang, tidak ada apa-apa, hanya pintu yang tertutup. "Bagaimana dengan ayahmu itu?"

"Ayah?" Aku tidak merasa membawa orang tuaku ke sini. Dari kecil saja kurasa tidak merasa dijaga orang tua kecuali oleh Mentari seorang yang dia saja tidak pernah menyebut dirinya sebagai salah satu dari itu.

"Itu." Mata hitam Samira melirik ke pintu yang tertutup, arah Mentari pergi.

"Dia bukan ayahku," balasku.

"Tapi, kalian sangat mirip," balasnya. "Warna rambut sama, kulitnya juga, sudah begitu bagian wajah kalian banyak kemiripannya. Kalian jelas sedarah."

Ya, memang aku dan Mentari memiliki warna rambut serupa, menyerupai warna kuning. Tapi, aku tidak yakin Mentari itu ayahku.

"Dia bukan ayahku," tegasku. "Dia hanya merawatku sedari kecil."

"Sosok ayah tidak harus yang membuatmu lahir," tangkas Samira. "Mereka yang merawatmu sudah bisa dianggap orang tua."

"Ya, sudahlah." Aku mengalah. "Dari awal aku mengenalnya, dia menyebut diri sebagai 'Mentari' dan tidak pernah membahas perihal orang tua."

"Kamu benar-benar tidak punya?" Samira menatapku seakan heran.

"Mungkin karena aku memang diciptakan, bukan dilahirkan." Aku menjawab seadanya.

"Tidak mungkin, semua anak pernah punya orang tua." Samira masih saja keras kepala.

Tales of Gods : Gods of Dunya [✓]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن