Tiga

21 6 1
                                    

"Masalah?" beoku.

Tujuan utama yang kutahu, Mentari membawaku ke sini untuk mencari 'hal baru' entah apa itu.

"Aku mendengar kisah dari mereka." Samira mengubah posisi hingga menghadap ke arahku. "Para dewa akan turun jika terjadi hal buruk di muka bumi. Terlebih karena fakta bahwa kalian sama sekali tidak menyembunyikan identitas menjadi tanda nyata bagi kami."

"Aku tidak tahu itu." Sekarang aku merasa bodoh di depannya. "Mentari hanya bilang kalau ini hanya akan menjadi wisata bagiku."

"Yah, mungkin wisata dalam kamusnya memiliki makna berbeda." Ucapan Samira itu langsung membuat pikiranku bertambah.

Memang benar Mentari sering bertualang di bumi, tapi dia hanya menceritakan seakan itu hanya kunjungannya ke rumah teman-teman sesama dewa. Tidak ada yang aneh, bahkan mendengar bahwa dia datang saat ada masalah pun rasanya janggal.

Apa yang Mentari tutupi selama ini?Atau itu dewa lain yang Samira maksud?

Memikirkan ini membuatku cemas. Aku peluk Bintang dengan harapan ia dapat memberi jawaban. Tapi, tidak ada suara.

Mata Samira tertuju pada Bintang."Itu bonekamu?"

"Bintang bukan boneka," jawabku.

"Lantas apa?"

Aku tatap Bintang. Memang benar jika dipeluk terasa lembut. Aku tahu apa itu boneka karena Mentari pernah memberiku beberapa buah sebagai teman tidurku selagi dia pergi. Sampai sekarang masih tergeletak di kamar dan kadang kupeluk sementara Bintang melindungi punggungku. Tapi, aku tidak yakin Bintang termasuk boneka.

"Aku tidak tahu, mungkin ... Mainan? Teman?" Aku kembali memutar pelan Bintang. Menatapi setiap garis berwarna sebagai hiasan Bintang, membuatnya tampak lucu.

Bintang memang temanku, satu-satunya yang paling lama bermain malah. Sementara Mentari lebih dianggap sebagai sosok yang memberi ilmu dan hanya berkunjung sekadar memberi kabar dan hal baru yang mungkin bagus untuk dipelajari. Keduanya memiliki peran berbeda. Membuatku kadang berpikir bisa jadi Bintang hanya berfungsi untuk menemaniku selagi Mentari pergi.

"Begitu." Samira mengangguk pelan. "Dari Mentari?"

"Ya, dia memberiku ini waktu aku masih bayi."

"Apakah dewa tumbuh berkembang seperti kami?" tanya Samira. "Maksudku, dari bayi, lalu perlahan menjadi dewasa."

Aku memang titisan dewa karena memang Mentari mengakui itu. Meski demikian, aku pernah dikomentari oleh titisan dewa lain, Zilla dan Deimos, perihal perkembanganku.

Saat itu, aku masih berusia tujuh tahun dan Mentari membawaku di tangannya menuju istana tempat Kematian berada. Kematian adalah teman baik Mentari, begitu kata dia.

Setibanya kami di sana, Mentari menurunkanku dan aku menatap sekeliling. Dia memang dalam wujud asli waktu itu, untungnya istana ini masih cukup tinggi sehingga dia tidak akan kesulitan saat masuk. Tanda bahwa Kematian pasti memperhitungkan ukuran tempat ini demi teman sesama dewa.

"Raana pintar-pintar, ya," pesan Mentari. "Aku akan membicarakan sesuatu pada Kematian. Nanti kedua pewarisnya akan menemani."

Seusai membelai rambutku, Mentari berjalan menjauh. Di saat yang sama, aku melihat dua sosok lelaki dan perempuan yang sedikit lebih tinggi dariku. Keduanya mendekat sambil tersenyum, namun aku tahu senyuman itu tidak mencerminkan sifat ramah kepadaku.

"Titisan Mentari pendek juga," ejek Zilla. Dia memiliki rambut hitam serta mata kelabu. Seperti diriku, dia mungkin akan mewarisi sang Kematian, bersama saudaranya.

Tales of Gods : Gods of Dunya [✓]Where stories live. Discover now