PART 2

4.3K 493 38
                                    

Sada hangover ... Hal yang paling merepotkan. Gak ada guna banget jadi kakak tertua.

"Hehe, cewek semalem cakep banget, Ji," celotehnya gak jelas. Sekarang dia lagi di toilet, baru habis muntah-muntah. Sada selonjoran, menyandarkan punggung pada toilet duduk, terkekeh dengan wajah yang masih mabok banget.

"Heh, goblok! Lo mabok sampe jam berapa, sih?"

Dior berdiri emosi di hadapannya, sementara Jio di ambang pintu menonton dengan santai acara hangover Sada, sambil sedot susu kotak.

"Sampe adzan. Pokoknya gue balik pas adzan, jam berapa tuh?" Sada ngomong dengan mata merem melek, tangannya terangkat mengacungkan-acungkan jari.

Dior melirik Jio. "Adzan jam berapa, Ji?" tanyanya.

Jio yang tak tahu-menahu, mengedikan bahu. Selagi Dior menerka adzan jam berapa. Sada memerosotkan badan, perlahan jadi tiduran sempurna di lantai toilet.

"Eh-eh-eh, jangan tidur di sini. Sadaaaa!!!!  Tar kita susah ngangkatnya, anjir! Badan lu berat, Anjeng!"

Dior coba menarik jaket kulit Sada dengan kedua tangannya, berusaha membangunkan. Tapi Sada emang serese itu kalau sudah mabok berat. Matanya tetap terpejam, bahkan sekarang sudah mulai mendengkur.

"Biarin ajalah dia tidur di toilet. Repot-repot angkat ke atas," ucap Jio dengan santainya. Dia masih menyedot susu kotak yang sudah habis kayaknya soalnya terdengar suara sroot-srroot saat disedot.

"Susunya abis, Ji." Dior memandang datar. "Lo buang, terus bantu gue angkat abang bangsat lo ini! Inget kata Papa, sebrengsek-brengseknya saudara, tetep saudara, jangan ditinggal kalo lagi mabok."

Jio mengocok-ngocok susu kotak di tangannya. "Bentar masih ada," katanya lalu berusaha menyedot susu itu lagi, masih ingin mencoba menghabiskan sampai tetes terakhir.

"Ji ...."

Tatapan lurus Dior menajam. Jio lalu mengedikan bahu. "Dah abis." Langsung membuang bekas susu kotak itu ke tempat sampah dekat pintu toilet kemudian mendekat ke arah Sada.

"Gue kepalanya," ucap Jio.

"Oke, gue kakinya." Dior melangkah ke ujung kaki Sada.

Dengan susah payah mereka menggotong-royong Ersada Dion yang badannya anak gym abis itu. Mana yang digotong keliatan adem-ayem lagi, tidur tambah nyenyak, berasa lagi dipangku mak kali, ya.

"Ji-ji, bentar, Ji."

Di pertengahan tangga. Dior berhenti melangkah, menetralkan napas yang mulai tak karuan. Dia punya asma yang lumayan akut, itu yang membuatnya tak sama dengan kedua saudaranya yang sering pergi malam, pulang pagi. Dior lebih ke tipe anak rumahan untuk sekarang setelah kata dokter asmanya makin akut. Dior bukan anak penurut, tapi kalo sudah menyangkut asmanya, dia nurut. Asma tidak mematikan, tapi kehabisan napas bisa membuatnya mati.

Hhhhhhhhhh ... Huuhhhhhhhh ...

Setelah menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.

"Lanjut." Dior kembali siap melangkah. Setiap hari dia merutuki rumahnya yang tingkat dua dengan tangganya yang kepanjangan.

Jio melanjutkan langkah mundurnya, mengambil langkah ke belakang pelan-pelan, matanya memerhatikan kaki yang menginjak anak tangga dengan lamat-lamat. Kalau dia kepleset, semuanya ikut gelinding soalnya. Tapi untungnya, Tuhan masih sudi memberikan perlindungan sampai mereka berhasil menghempaskan Sada ke ranjang. Jio mengembuskan napas lega.

Hhhhhh ... hhhhh ... hhhhhh. Sementara Dior meluruhkan badan di lantai, bersandar pada badan ranjang. Napasnya pendek-pendek dan cepat. Dan terdengar suara mengi yang nyaring.

"Mau gue ambilin inhaler?" tawar Jio.

Dior mengangguk. Jio langsung beranjak pergi ke kamar sebelah. Hanya beberapa detik lalu kembali. Dia lemparkan benda berwarna hijau yang dibawanya. Dior menangkapnya. Jio lempar gak dari jarak jauh kok, jarak dua langkah doang.

Dior langsung menggunakan alat itu. Mengocok lalu menghisapnya.

"Mama muda ke Bali kok gak ajak anaknya, sih?" Jio tiduran di tepi ranjang, bersuara sembari menatap langit-langit kamar.

"Abege tua emang gitu," Dior menyahut. Napasnya sudah membaik. Dia bangkit, naik ke atas ranjang. Tangannya memegang kaki Jio saat merangkak ke tengah ranjang.

Jio langsung menghentakan kaki refleks. "Tangan lo dingin banget, anjir! Mayat ya, lo?" ucapnya, kaget saat tangan Dior menyentuh betisnya.

Dior yang mau berbaring melirik Jio malas. "Emang gini kalo lagi kambuh, goblok!" sahutnya diakhiri umpatan lalu membaringkan badan di tengah-tengah.

Ranjang Sada itu kingsize jadi muat untuk bertiga. Sada, Dior dan Jio, berbaring bersampingan.

"Si sugar daddy, lagi ngapain, ya?"

Cuma Jio yang punya panggilan aneh-aneh untuk kedua orang tuanya. Dior mengikuti Jio, menatap langit-langit kamar.

"Lagi bahagia lah, keluarga yang onoh kan sempurna, pawangnya tepat."

"Oh, iya," Jio menyahut. Dia lupa.

"Kalo Mama muda bawa cowok lagi. Kita apain lagi ya enaknya?"

Terakhir Manda bawa pria ke rumah, tiga putranya berhasil membuat pria itu tak betah dengan menyewa beberapa ular jinak dan menyimpannya di beberapa tempat di dalam rumah. Lalu mengibuli pria itu, bilang kalau Mama punya sesembahan ular dan pria itu hanya akan dijadikan tumbal oleh mamanya agar mamanya tambah kaya. Secara Mama muda kan janda yang tidak punya pekerjaan, tapi rumahnya bisa segede istana Elsa dan bisa melancong ke mana-mana. Dari mana coba duitnya?????? Ya, dari mantan lakinya lah! Bapaknya Sada, Dior, dan Jio.

Entah terlalu bodoh atau bagaimana, tapi pria lugu yang tampangnya bego itu percaya saja dengan bualan yang berasal dari otak Jio.

"Lo pikir-pikir deh, Ji. Otak lo kan yang paling biadab. Gue mah yang penting gak punya papa baru, kecuali kalo lebih kaya dari papa lama. Kalo gitu, bisalah di omongin."

Jio mengacungkan telapak tangan. "Tuju," katanya. Tos pelan dengan Dior.


--

ERSAGA (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang