2. Haruskah Ditunggu Lagi?

17 5 0
                                    

Melihat Giana yang kembali dengan wajah lusuh, Ariani bisa menebak bahwa peneleponnya bukanlah sang ayah. "Siapa, Dek?"

Giana mengangsurkan ponsel pintar milik Ariani dengan lemas tanpa menjawab. Ariani menatap layarnya yang menampilkan nama "Pemilik Rumah" berkelap-kelip. Buru-buru Ariani mengangkat telepon tersebut.

"Ya, Om? Ada apa, ya?" tanya Ariani dengan nada sopan.

"Eh? Tapi, Om?" Wajah Ariani terlihat kaget dan juga bingung membuat Giana meliriknya sekilas sebelum kembali melahap makanannya. "Papa belum bilang apa-apa sama kami, Om."

Ariani meringis kecil. "Iya, Om. Papa emang belum pulang dari semalam. Nanti kalau Papa udah pulang Ria sampaikan ya, Om," ucapnya sambil memilin ujung bajunya dengan raut tak enak.

Giana menelan suapan terakhirnya dengan cepat. "Papa kenapa, Kak?" Alis Giana terangkat sebelah walau ekspresinya datar saja. Gadis itu tak terlihat tertarik sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh sang pemilik rumah tempat mereka mengontrak, ia hanya fokus pada sang ayah saja.

Giana menghela napas panjang. "Kata Om Ridwan, dia mau jual rumah ini. Katanya dia udah bilang ke Papa sejak dua minggu yang lalu agar kita secepatnya pindah dari sini. Masalahnya kita bahkan gak tau apa-apa soal ini dan Papa yang tahu malah belum pulang-pulang. Sementara menurut Om Ridwan pemilik baru sudah akan menempati rumah ini minggu depan. Jadi, Om Ridwan kasih kita waktu 3 hari buat nyari tempat baru," jelas Giana merangkum seluruh percakapannya dengan sang pemilik rumah—atau boleh dikatakan sang mantan pemilik rumah.

Kening Giana mengerut. "Papa gak bilang apa-apa sebelumnya," sergah Giana sedikit jengkel. Angga yang ia kenal tak mungkin melewatkan informasi sepenting ini untuk dibagikan. Apalagi ada peraturan—tidak tertulis—di keluarga ini untuk tidak merahasiakan apa pun. "Ini pasti akal-akalannya Om Ridwan. Gak mungkin Papa gak bilang apa-apa kalau udah tahu," tuding Giana sebal.

Ariani terdiam. Ia merasa sependapat dengan Giana. Kemungkinan besar ini akal-akalan Ridwan untuk mengusir mereka secepatnya karena ini menjual rumah ini dengan cepat. Ia mendengar rumor bahwa rumah ini sebenarnya bukan milik Ridwan, melainkan orang tuanya dan harus dibagikan pada saudara yang lainnya. Namun, sifat Ridwan yang tamak tentu saja tak mengizinkan hal itu. Ia pasti ingin menjual rumah ini secepat mungkin, lalu menyimpan uang itu untuk dirinya sendiri.

"Dasar manusia picik," maki Giana geram. Ia lantas bergerak menuju kamar Angga. Matanya menelusuri setiap sudut meja dan membuka laci Angga setelah berucap pelan, "Pa, Gia izin bongkar ya. Janji gak bakal diberantakin."

Ariani yang sejak tadi mengekor di belakangnya terkekeh kecil. Walau sudah tahu kebiasaan Giana yang bisa dibilang aneh—tetapi sopan—sejak kecil ini, tetap saja ia merasa sedikit geli. "Kamu cari apa, Dek?" tegur Ariani yang sedari tadi memantau gerak-gerik sang adik.

Giana melirik sang kakak dari ujung matanya. "Buku coklat papa," jawabnya singkat. Seingatnya, buku catatan Angga yang berwarna coklat—yang ia namai buku coklat—itu terdapat beberapa kontak penyewa rumah. Oleh karena itu, ia mencarinya dengan harapan masalah pindah rumah ini bisa teratasi dengan cepat.

"Buat apa?" tanya Ariani heran. "Kalau gak ketemu, mungkin dibawa sama Papa, Dek," tutur Ariani yang kini sudah duduk di atas kasur sembari mengawasi sang adik.

"Cari rumah," balas Giana pendek. Kening Ariani semakin mengerut mendapatkan jawaban singkat tersebut.

Gadis itu menghela napas berat. Sifat Giana yang satu ini benar-benar sulit diubah. Ia tak pernah mau repot-repot menjelaskan apa yang ia pikirkan dengan jelas, hanya dirangkumnya dalam beberapa kata saja. Oleh karena itu, ia sering disalapahami orang lain sebagai anak yang antisosial.

Who's the Killer [ON GOING]Where stories live. Discover now