Bagian 2: 16. Mimpi Buruk yang Kembali

289 28 1
                                    

Derap langkah kaki yang semakin mendekat sukses mengalihkan atensi sang tuan. Irasnya tertoleh, menangkap sosok seorang wanita, seorang pria, dan seorang gadis remaja yang menggendong gadis kecil di pelukannya. Mereka melangkah tergopoh mendekati pria itu. Bramantius.

Oh, mereka datang.

Ya, Dianaㅡibunda Shargaㅡdan keluarganya. Diana semakin mendekat, wajahnya sembab. "Bang," sapanya dengan suara sedikit bergetar. "Sharga gimana, Bang?"

Bramantius menghembuskan napas, sekilas bersitatap dengan Henry, suami Diana. Henry mengangguk sopan tanpa ekspresi, yang hanya dibalas anggukan sekilas oleh Bramantius. Bramantius kembali ke Diana, lantas menunjuk pintu ICU yang masih tertutup rapat.

Diana tahu maksudnya. Tenaga medis di dalam sana mesti belum selesai menangani anak sulungnya. Lampu di atas ruangan itu masih menyala merah, pertanda bahwa tenaga medis masih bekerja menangani sang pasien di dalam. Wanita itu jatuh terduduk, menangis tertahan dengan Henry yang langsung menenangkannya.

Bramantius diam seribu bahasa, tak sanggup berkata-kata.

"Ya Tuhan, Sharga...."

"Dia akan baik-baik aja. Kita sama-sama doakan yang terbaik, oke?"

"Tapi, Mas...."

"Berulang kali kamu bilang ke aku, sulungmu yang paling kuat. Jika kamu nggak percaya kata-kataku, maka coba untuk percaya sama Sharga, anak kamu."

Kira-kira hanya itulah suara-suara yang memenuhi lorong ICU. Suara Diana dan Henry. Si kecilㅡLilaㅡyang berada di gendongan Naraㅡadik pertama Shargaㅡmenatap sekelilingnya dengan sorot mata bingung. Ibunya menangis, pria lain di sana selain ayahnya nampak asing, walau gadis kecil itu merasa sudah pernah melihat dan bertemu dengannya. Kakak perempuannyaㅡNaraㅡnampak membeku, hanya diam di tempatnya, menafakuri lantai putih rumah sakit. Mendengar nama kakak laki-lakinyaㅡShargaㅡdisebut berkali-kali, membuat rasa penasaran Lila semakin besar.

"Akak ... Abang mana?"

Nara yang sejak tadi bungkam kini mengalihkan atensi ke adik kecil yang berdiri di sebelahnya sembari menggenggam tangannya. Lila menatapnya polos, dengan kedua mata jernihnya yang nampak tak berdosa. Sebelah tangannya yang lain memeluk erat sebuah boneka kelinciㅡkarakter Disney, Stella Louㅡpemberian Sharga di hari ulang tahunnya setahun yang lalu. Astaga, siapa yang tega menolak tatapan itu?

"A-Abang...." Nara menatap sekelilingnya sejenak, kehilangan kata-kata. Baik Bramantius, Diana, dan Henry juga menatapnya. Mereka mulai berpikir bahwa mengajak Lila turut serta ke sini sepertinya merupakan sebuah kesalahan.

"Abang mana, Akak...?" Tanya kembali dilempar oleh si kecil.

Nara memutar otaknya dengan cepat, sadar kini ialah yang harus menghadapi segala rasa penasaran adiknya. "Abang ... Abang masih diperiksa dokter, Sayang."

Lila mengerjap beberapa kali, wajahnya mulai cemas, dan itu begitu terlihat jelas. "Abang ... is Abang sick?" Mau tidak mau Nara mengangguk. Tentu Lila sudah mengerti. Di otaknya, jika seseorang pergi ke dokter, sudah pasti orang tersebut sedang sakit. "Abang..." lirihnya.

Oh, andaikata situasinya lebih baik, ekspresi khawatir Lila sekarang sebenarnya sangat menggemaskan.

"Abang akit apa, Akak? Abang pilek?" Lila kembali menatap Nara, melempar rasa penasarannya dengan suara cadelnya.

Oh, Tuhan.

Nara melirik sang ibu yang menggeleng, kembali terisak tertahan sembari mengalihkan wajah. "Ah ... iya, Abang pilek, kebanyakan makan es krim." Sekeras mungkin Nara berusaha 'tuk mencairkan suasana, juga membuat Lila "mengerti" soal kondisi sang kakak.

Tapi sepertinya tak berhasil.

Lila kembali berwajah muram. Satu tangannya yang memeluk boneka Stella Lou nampak meremas-remas lengan boneka itu dengan gelisah. "Abang ... I want Abang. Masih lama?"

Nara ingin menangis saja rasanya. Mereka saja tidak tahu kapan Sharga selesai ditangani oleh para tenaga medis itu. Itu pun belum tentuㅡah, tidak. Untuk membayangkannya saja Nara sendiri tidak sanggup. "Hmmm ... Lila, ikut Kakak, yuk? Kita jajan, I think it would be good if we buy something sweet to eat, abis itu ketemu Abang."

Mendengar kata "jajan", senyuman Lila mulai merekah. Ia mengangguk semangat. "Mau! Jajan untuk Abang juga! Abang likes sweets!"

Nara tersenyum, mengusap lembut surai sang adik. "Iya, kita jajanin Abang juga, ya. Yuk?"

Lila tersenyum cerah, ia memeluk Nara erat dan Nara kembali menggendongnya. Nara sekilas menatap ibu dan ayahnya, melemparkan isyarat untuk pergi sebentar dengan Lila. Diana dan Henry mengangguk, membiarkan Nara dan Lila pergi.

Dan hening kembali menyapa.

Hingga akhirnya, suara pintu yang berderit terbuka membuat atensi ketiga orang dewasa itu teralih. Lampu di atas pintu ruang ICU sudah berubah hijau. Tiga manusia yang ada di sana refleks bangkit, menatap cemas sang dokter.

Sang dokter menghembuskan napasnya.

***

Lagi. Diana dan Bramantius lagi-lagi harus melihat si sulung dalam kondisi seperti ini. "Tertidur" dengan segala alat, selang, pun kabel guna menunjang kerja organ vitalnya agar tak "berhenti". Untuk membuatnya tetap bernapas dan berdetak. Setelah sempat mengalami gagal napas, dengan kerja keras para tenaga medis pun izin Tuhan, Sharga berhasil "kembali", walau dokter tak dapat memperkirakan kapan pemuda itu akan "bangun dari tidurnya".

Orang tua mana yang tidak hancur melihat anaknya sendiri berada dalam kondisi demikian? Bahkan, Henry yang bukan ayah kandung Sharga dan turut ada di sana, tidak dapat membayangkan betapa remuknya hati Diana dan Bramantius.

Deru suara alat-alat penunjang hidupnya serta bebunyian monitor yang menunjukkan kondisi dan garis-garis grafik detak jantung, tekanan darah, hingga kadar oksigen dalam darah memenuhi langit-langit ruangan tersebut. Oh, bayangkan betapa sakitnya hati Diana dan Bramantius melihat itu semua. Beberapa kali mereka dihadapkan dengan situasi seperti ini, namun sepertinya, keduanya tidak akan pernah bisa terbiasa.

Diana melangkah mendekati ranjang tempat Sharga berbaring. Tak kuasa lagi ia untuk menahan tangisnya. Sesak rasanya. Lagi-lagi harus melihat Sharga dalam kondisi seperti ini. Bahkan untuk bernapas saja harus dibantu ventilator. Wanita itu menyentuh tangan Sharga yang bebas dari infus atau alat lain. Ia mengangkatnya, mengecupnya lembut, menggenggamnya erat dengan air mata yang seolah tak ingin berhenti keluar.

Bramantius berada di seberangnya, hanya diam dengan kedua tangan di saku. Begitu pula dengan Henry yang hanya menatap di sebelah sang istri.

Oh, tidak, mereka tidak ingin kembali ke masa-masa kelam itu. Masa-masa ketika harus menunggu hampir sebulan lamanya hanya untuk melihat Sharga "terbangun" dari tidurnya dan kembali kesakitanㅡhampir setiap harinya.

Tidak. Ini benar-benar mimpi buruk yang terulang.

Selama beberapa menit ke depan, hanya deru alat medis, bunyi monitor, dan isak tangis Diana yang terdengar. Bramantius menunduk, menatap si sulung, merasa begitu bersalah, namun tak dapat menunjukkannya. Dan Henry, ia terus merangkul sang istri, memijit bahunya, berharap itu dapat menenangkan, mengurangi tekanan, dan memudarkan rasa khawatir yang mendera Diana.

Andaikan Bramantius tiba lebih cepat di rumah, mungkin Sharga tidak akan berakhir seperti ini. Andaikan ia tidak pergi ke kantor tadi siang dan langsung mengantar si sulung ke rumah sakit, mungkin kondisinya tak akan separah ini.

Begitulah yang Bramantius pikirkan.

Begitulah yang Bramantius sesalkan.

Sehingga ia tak harus melihat Sharga berakhir begini.

Pun melihat Diana menangis seperti ini.

***

STORY OF SHARGA (CERITA DIPINDAHKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang