Iri Iri Iri

23 1 0
                                    

"Banyak juga gue lihat-lihat, tapi kok kelihatannya murah murah," celetuk Arin begitu masuk ke kamar Liliana.

Maksud Arin kado yang didapat si adik di acara ulang tahunnya barusan.

Si pemilik kamar cuma noleh sebentar lalu balik membongkar barang-barangnya. Malas menggubris kakaknya yang sudah selonjoran di atas kasur.

Saat giliran membuka box besar dari January, Liliana langsung berseri-seri. Isinya kartu ucapan yang panjangnya ngalahin struk belanjaan di awal bulan dan jajanan favoritnya. Mulai dari beng-beng sampai lays, kopi goodday sampai susu cimory, semua memenuhi box. Kalau mau, Liliana bisa buka warung setelah ini.

Tapi kakaknya di belakang jelas punya pendapat yang berbeda.

"Murahan banget sih. Gue pikir lo bakal temenan sama yang sederajat. Ternyata biasa-biasa aja."

"I just trying to make friends." Liliana memutar bola mata.

"Filter dikit lah, nggak bisa apa temenan sama yang bagusan dikit?"

"Kenapa ini jadi urusan lo?"

"I know you can't take care of yourself. Dari semua sekolah yang ada, lo maksa masuk negeri. Temenan sama anak-anak nggak jelas. Habis ini apa? Gue nggak mau lo salah pergaulan!"

"Gue bisa rasain mana yang baik mana yang enggak, kali."

"Of course you're not!"

Liliana benci kakaknya. Dari semua orang di rumah ini, perempuan yang terpaut umur 4 tahun darinya itu punya mulut paling nyinyir seantero kelurahan. Apa aja dikomen.

Dia masuk SMA negeri, katanya nggak level. Dia masuk paskibra, katanya cuma bikin item. Besok-besok kalo dia nyapres terus rajin blusukan ke jalan juga kayaknya masih bakal dinyinyiri.

"Jangan-jangan malah lo yang salah pergaulan karena temenan sama orang-orang highclass wannabe itu? Jadi nggak punya hati. Nggak tau mana yang tulus mana yang palsu?"

"Batu banget dibilangin. Lihat aja ntar lo bakal nyesel."

"Kenapa harus nyesel? Kalau lo belom pernah duduk dan tatap muka sama manusianya, saling tukar cerita dan rahasia, bahkan sampai cuap-cuap nggak jelas, nggak usah sok menduga-duga sifatnya. Nggak sopan. Lo tuh manusia, cari cara mengenal orang lain dengan manusiawi."

"Nggak usah sok bijak deh!"

Arin pergi sambil ngomel-ngomel. Pintu kamar dibanting tanpa pakai perasaan. Nggakpapa, duit papa mama masih banyak. Kalo rusak besok tinggal panggil tukang.

Liliana cuma bisa menghela nafas. Kalau semua yang dia lakukan serba salah di mata Arin, dia tidak peduli. She loves her friends. Mereka saja bisa bersikap baik dengannya, kenapa dia tidak? Bodo amat lah mereka siapa.

Dan yang terpenting, dia cinta mati dengan hadiah January.

Arin cuma iri karena nggak punya teman yang tulus.

Iya kan?

***

Di sudut kota yang lain, Juan baru saja memarkir KLX nya di carport rumah. Yang bikin laki-laki itu mengerutkan dahi, ada S-Class hitam dengan seorang supir yang dia kenali sedang duduk tak jauh dari sana.

"Baru pulang, Mas?"

Laki-laki itu menyapa terlebih dahulu. Juan hanya balas menganggung dengan senyum kecil.

"Daddy balik?"

"Iya Mas, bapak minta diantar ke sini."

"Kok nggak tunggu di dalem?"

"Kata bapak cuma sebentar, Mas."

Juan hanya menghela nafas. Berbagai pikiran hinggap di kepalanya.

Berjalan masuk ke rumah, sayup-sayup dia bisa mendengar suara orang-orang yang saling bersahutan dengan nada tinggi. Oh, kayaknya malam ini bakal ada drama lagi setelah seminggu ini pemainnya absen pulang ke rumah.

Benar saja begitu dia menginjak living room, suara-suara itu terdengar semakin jelas. Bahkan pelakon yang meneriakkannya pun ada di depan mata. Begitu pun dengan barang-barang pecah belah yang tercecer di lantai rumah.

"Can you just stop arguing and throwing things?"

Kayaknya Juan harus bersiap kalau malam ini diusir dari rumah dan ngemper lagi di tempat sobat-sobatnya. Karena lihat saja mata ayahnya yang membara seakan ingin melahap dia mentah-mentah.

"Look who's here! Got home late and have no manner, huh?"

Dari dekat, Juan bisa melihat tangisan sang ibu semakin deras. Dia pikir laki-laki itu sepertinya lupa siapa yang sebenarnya nggak punya tata krama.

"You haven't been home for days and now you're just messing up the whole room."

"Stop, okay? Stop." Ibunya menarik Juan yang sudah bersiap menggulung lengan kemeja. "Son, go to your room now."

"I won't, Mom. This man should be taught how a man should be."

Dia sudah tidak ingat lagi sejak kapan ayahnya bertingkah seenaknya sendiri dan membuatnya semakin jengah. Laki-laki itu jarang sekali pulang. Tapi sekalinya pulang hanya membuat keributan dan bertengkar dengan sang ibu.

"Is this how you talk to your Dad?" Ayahnya berdecak.

"Seeing our family constructed with full of lie, I don't think I can call you as my Dad anymore."

Satu bogem mentah bersarang di pipi Juan. Foto keluarga dengan frame berukuran besar yang terpajang di dinding seakan melemparkan celaan untuk mereka bertiga. Keharmonisan keluarga itu hanya sebatas permainan peran di depan khalayak. Senyum-senyum itu semua palsu dan penuh tipuan.

"I bet you can't wait to get out from here."

Setelah melemparkan sumpah serapahnya, laki-laki itu pergi dengan bantingan pintu. Saatnya kembali lagi dalam episode dimana Juan harus kembali menyelesaikan kekacauan yang laki-laki itu perbuat.

"I'm sorry, Mom. I'm late." Juan memeluk mamanya yang jatuh terduduk dengan penuh kehati-hatian. "You're safe now, I'm here."

Di dunia ini, tinggal ibunya yang bisa dia jaga dengan sepenuh hati. Yang akan dia lindungi tak peduli bagaimanapun caranya. Tak peduli mau seperti apa rintangannya. Ibunya hanya punya seorang Juan di sini.

Betapa menyedihkannya menjadi sang ibu yang harus hidup berjauhan dengan keluarganya yang tinggal di belahan bumi yang lain. Lalu dipaksa hidup bersama dengan suami yang pemarah dan tidak peduli dengan keberadaannya. She was asked from her family not to be treated like this.

"Thank you for being here, love. I love you."

Bagi Juan, ini cukup. Dia bisa mengalahkan dunia hanya dengan genggaman tangan sang ibu.

Semudah itu.

***

Sorry for poor English, I did my best :D

16/02/2022

with love, amalia.


FeelingsTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon