PROLOG

5 0 0
                                    

Ibu baru saja turun ke lantai bawah saat mendengar suara-suara ramai pertanda tamu sudah tiba. Aku mengepas rok dan dress merah muda yang kemarin dibeli khusus untuk acara hari ini. Sembari berputar-putar mematut diri di cermin, aku pun berlatih memberi senyum manis seperti yang Ibu ajarkan.

"Krista!"

Suara ibu yang memanggilku dari luar sontak membuatku terkejut.

Membuatku bergegas beranjak dari kamar dan membukakan pintu hanya untuk mendapati Ibu ternyata sudah berdiri di luar.

"Ya ampun Krista, kenapa tidak juga turun ke bawah?" tanya Ibu berkacak pinggang.

Aku hanya mengangkat bahu dan berlalu melewatinya, tetapi Ibu menahan tubuhku dan kami kembali masuk ke kamar.

"Aduh ... Krista, lihat rokmu kusut sekali! Ayo, ganti yang baru," katanya sembari mengacak isi lemariku yang penuh hendak memuntahkan isinya.

"Mom, tidak ada yang salah dengan rok ini," sungutku kesal karena malas mengganti lagi.

"Tidak bisa, lihatlah betapa berantakan penampilanmu. Apa tidak malu bila tamu Ayah membicarakan kita hanya karena sebuah rok?" balik Ibu yang menjelaskan dengan kesal.

Aku tahu bahwa reputasi itu perlu, tetapi tidak harus membuat semua jadi terlihat sempurna. Apa pun yang kulakukan benar-benar harus diperhatikan, cara berjalan, cara mengunyah, semua pakai aturan.

Ini terjadi sejak dua tahun lalu ketika Ayah dipilih menjadi Mayor di Denver. Sejak itu hidupku berubah. Begitu pula teman-temanku, yang semula aku tidak memiliki banyak teman, tiba-tiba saja mereka mendekat dan bersikap manis.

Sedikit merasa malas akhirnya aku mengganti rok yang Ibu bilang kusut dengan yang baru.

"Ayolah, cepat sedikit. Tamu Ayah sudah berdatangan. Ibu harus ke bawah dan menjamu mereka, rasanya tidak sopan meninggalkan tamu bersama pelayan tanpa tuan rumah," cerca Ibu sembari memburu-buru diriku.

"Tapi kan ada Ayah yang menyambut mereka," ucapku mengingat Ayah masih berada di bawah sejak tadi.

"Tidak seharusnya Ayahmu yang menjamu, itu adalah tugas Ibu sebagai istri seorang Mayor. Cepatlah turun, Krista."

Ibu sedikit menyeretku sampai ke lantai bawah. Dari atas tangga aku melihat para tamu sudah memenuhi ruangan utama. Seluruhnya berpakaian dengan gaya yang sama, membuatku sulit membedakan bapak-bapak di sana. Stelan jas hitam dengan dasi panjang, begitu pula gaya rambut mereka, mirip semua.

Memangnya ada apa dengan tampilan kembar itu, apa mereka sengaja ingin kompak begitu?

"Selamat malam, maaf aku tidak menyambut kedatangan kalian," kata Ibu pada seorang wanita cantik yang mendekat begitu kami tiba di lantai bawah.

"Tidak apa-apa, Jules. Kau pasti sibuk mengurus hal lain," balas wanita cantik itu basa-basi. Wanita itu pun menunduk ke arahku dan tersenyum kaku. "Oh, apakah ini putri tunggalmu?"

Ibu memperkenalkanku pada pasangan suami istri tersebut.

"Ya ampun, kau benar-benar diberkati memiliki anak perempuan secantik ini," pujinya yang terdengar tidak tulus.

Aku hanya menyungging senyum sebagai kesopanan, tidak mau Ibu mencubitku setelah tamu bubar.

"Jangan terlalu dipuji nanti dia besar kepala," jawab Ibu sama basa-basinya.

Aku benar-benar ingin memutar bola mata.

"Ayo kita pindah ke jamuan makan. Aku sudah menyiapkan hidangan khusus untuk hari ini."

Ibu menuntun para undangan ke meja makan. Saat itulah aku melihatnya. Pria yang kuanggap pangeran berkuda putih seperti dalam novel romansa koleksi Ibu yang kucuri diam-diam dari lemari terkunci.

Dear GavinWhere stories live. Discover now