Epilog

109 14 3
                                    

Hamparan air yang terbentang di hadapan cowok itu berbeda. Bukan saja karena lokasinya, tetapi karena rasa tersiksa yang setia menemani setiap kali dia menatap pantai sudah tak ada di hatinya.

"Pelangi suka banget air," ungkap Langit pelan dengan mata terus memandang cakrawala. "Dia bilang shower di rumah bahkan bisa bantu dia buat meringankan beban."

Liv yang sore ini menggerai rambut panjangnya, membiarkan angin memainkan helai demi helai, sementara seluruh fokus dia berikan pada cowok di sisinya. Dia tahu hari ini tepat dua tahun kematian Pelangi, oleh sebab itu dia tidak menolak ketika Langit tiba-tiba saja muncul di kampusnya dan menariknya ke Ancol.

"Lo tahu, dulu gue menghindar dari hal-hal yang bisa bikin gue ingat Pelangi," lanjut Langit. "Gue berhenti bawa motor atau mobil ke sekolah, karena biasanya dia yang ada bareng gue. Gue juga benci lihat pantai atau hujan, karena semua itu kesukaan Pelangi. Tapi, lo ngubah gue. Lo berhasil bikin ingatan gue tentang Pelangi nggak lagi diselimuti rasa sakit. Hari ini, dua tahun setelah gue baca surat terakhirnya, gue benar-benar ngerti apa yang dia maksud di surat itu."

Rangkaian kalimat dalam surat Pelangi pun terputar ulang dalam benak Langit.

Aku mungkin pelangi terakhir, tapi masih ada bulan, bintang, juga mentari di luar sana. Menunggu kamu. Karena itu, jangan hidup dalam kebohongan. Aku sudah pergi. Lepaskan aku dan ... maaf.

"Kayaknya...." Langit tersenyum tipis, terlihat sedih. "Alasan gue berenang ke tepi lagi hari itu karena gue ingat Oma dan Opa. Gue nggak mau tambah beban mereka. Kalau gue juga ikut pergi, siapa yang bakal jaga mereka?"

Liv terpaku sesaat, sebelum menghela napas dan meraih tangan Langit. Bibirnya masih terkatup, membiarkan cowok itu mengeluarkan seluruh beban.

"Terus waktu lo nangis di toko es krim waktu itu, gue sadar harusnya gue nemenin Pelangi kayak gue nemenin lo. Supaya dia tahu dia nggak sendirian," ucap Langit. "Dan, waktu lo nyeret gue pergi ke rumah Kayla, gue nggak nolak karena ... gue mau jaga lo. Tanpa sadar gue yang yakin bahwa gue nggak akan percaya siapa pun lagi, sudah percaya sama lo. Apa jadinya gue kalau nggak ada lo?"

Liv membiarkan sepi menyelinap di antara mereka berdua. Menikmati berlarinya waktu tanpa kata. Hanya matahari yang semakin tenggelam, debur ombak, juga semilir angin berembus yang membungkus mereka.

Entah berapa lama kemudian, matahari benar-benar kembali ke peraduannya dan Liv membuka suara. "Gue juga sering mikir, apa jadinya gue kalau lo nggak pindah ke sini?"

"Gue lebih senang mikir semua sudah diatur," balas Langit. "Apa-apa yang terjadi dalam hidup kita, entah tawaatau luka, akhirnya bikin kita sampai di titik ini. Jadi, gue cuma mau terus bersyukur. Juga berharap supaya apa-apa yang bakal terjadi di depan nanti, gimanapun keadaannya, kita tetap punya satu sama lain."

Liv tiba-tiba menarik tangannya, lalu berkata, "Ini lo ngelamar gue? Sori, biarpun lo ganteng dan gue sayang sama lo, gue belum siap harus lihat muka lo setiap hari. Lo itu lebih sering ngeselin daripada ngangenin."

Melihat wajah Langit yang berubah syok, Liv tidak lagi mampu menahan tawanya. Cewek itu bahkan sampai membungkuk.

"Lo tuh ya, sehari nggak usil sama gue bisa nggak, sih?" gerutu Langit. Meski dalam hati dia mengucapkan beribu syukur karena sudah dipertemukan dengan cewek berisik di sisinya itu. Sungguh, Liv membuat hidup Langit menjadi lebih berwarna dan penuh kebahagiaan.

Liv tetap tertawa, sebelum mulai berjalan menjauhi bibir pantai. Dia berhenti sesaat, menatap Langit dengan serius dan berkata, "Kalau lo mau gue berhenti usil, berarti lo bukan cowok yang bisa terima gue apa adanya. Hmm, apa gue harus telepon Diaz dan bilang gue siap terima hatinya?"

"Livia!!!"

Liv segera berlari karena mengikuti seruan itu, Langit mengejarnya. Mereka saling mengejar dengan tawa berderai. Membiarkan bahagia mengikis luka secara perlahan. Meskipun waktu kebersamaan mereka masih berada di awal, tanpa ada yang tahu apa yang akan dibawa hari esok, mereka saling merasa yakin. Sebab setelah badai yang mereka lalui, mereka tetap memilih untuk tidak pergi.

Mereka ada untuk satu sama lain dan itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini.

***

Terima kasih sudah bersabar menunggu update novel If I Were You!

Novel ini bisa kalian baca di Wattpad sampai tamat hingga beberapa waktu ke depan. Silakan dikebut ya ;)

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang