2. Gadis Tanpa Nama

0 0 0
                                    

Debur ombak mengalun, lembut, pelan, hingga suara hempasan gulungan air itu perlahan mengeras, menghantam bibir pantai dengan kuat seolah ingin meruntuhkan hamparan pasir. Semakin lama, suara ombak saling mengejar dan menghempas kuat tampak jelas di pendengaran Arum.

Gadis dengan luka lebam di wajah itu, mengernyit. Telinga Arum memerah, sedikit bergerak-gerak. Dalam tidurnya, dia seolah mencari asal suara. Namun, hanya gelap yang ditemui Arum sebelum kelopak matanya terbuka perlahan.

"Dokter, pasien sudah sadar!"

Ruangan beraroma obat-obatan dan sedikit bercampur bau anyir darah, terdengar bising. Entah apa yang dilakukan beberapa Perawat dan Dokter pada tubuh Arum.

Arum hanya diam memandang langit-langit ruangan yang berwarna putih. Meski tanpa kacamata dan penglihatannya mengabur, tetap saja dia betah menatap langit ruangan.

Hingga Dokter yang berusaha memanggil, tidak dipedulikan olehnya. Beberapa Perawat saling berpandangan.

"Mungkin, gadis ini masih syok," kata Suster pada rekannya.

Perawat pria mengangguk. "Kemungkinan, dia korban penculikan yang berhasil lolos. Warga yang membawanya kemari tadi pagi, bilang kalau anak ini pingsan di pinggir pantai."

Setelah melakukan penanganan, mereka meninggalkan Arum sendiri. Mungkin memang, gadis itu membutuhkan waktu sendiri.

***

Dua hari Arum menghilang tanpa jejak, Setyo dan Ginar kelimpungan mencari kabar putri sulung mereka. Saking paniknya, Ginar melempar beberapa alat make up ke arah Setyo.

"Ini gara-gara kamu! Harusnya kemarin cepat jemput Arum!"

Setyo berusaha menghindar, wajahnya yang ditumbuhi kumis tipis berusaha bersembunyi di balik kedua lengan. Lelaki berusia 46 tahun itu, menyentak napas kasar. Dadanya panas mendengar istri terus memojokkan.

"Kamu bisa berhenti gak?! Ah, Sial!"

Sentakan Setyo bersamaan dengan botol bedak yang mengenai dahi. Lelaki itu, menatap tajam sang istri yang sepertinya tidak mau kalah memasang tatapan membunuh.

"Apa?!" tantang Ginar sambil bersedekap.

Dia tidak perlu membuang banyak tenaga bertempur dengan suami. Hanya perlu duduk di pinggir ranjang dan melempar segala macam benda di nakas. Sesimpel itu.

Setyo mendengkus sambil memegangi kepalanya yang berdenyut. Bukan cuman kepala sepertinya, dada lelaki itu juga kembang kempis. Sambil membayangkan sedang mencekik istrinya, Setyo berlalu mengambil kunci motor.

Padahal dia baru pulang kerja setelah Isya. Perut masih lapar, badan lelah menjaga rumah majikan seharian dari jam enam pagi. Belum lagi, pikiran dan hati yang tidak tenang memikirkan keberadaan Arum yang tidak ada kabar. Eh, sampai di rumah bukannya disuguhi senyum manis istri—walau itu cuman harapan semu Setyo—serta dilayani untuk mengisi perut yang keroncongan, justru Setyo mendapatkan amukan badai turnado.

"Mau ke mana kamu?!" ketus Ginar melihat suaminya melenggang menuju pintu sambil membawa kunci motor.

Setyo yang sudah lelah body, lelah batin, mendengkus melihat tatapan maut istrinya. Padahal kalau Ginar mau senyum sedikit saja untuk Setyo, dia yakin akan langsung klepek-klepek sama istrinya itu seperti saat dulu mereka masih pacaran.

"Cari anak aku yang hilanglah!"

"Ya, udah! Bagus kalau kamu nyadar!"

Suara-suara ketus itu berakhir saat Setyo memilih pergi. Bisa pecah kepalanya yang berdenyut kalau masih mendengar si gendang mengoceh.

Siapa Pembunuhku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang