8 Pesan Singkat

5 1 0
                                    

“Merasa lebih baik?”

“Yah jauh lebih baik,” jawab Hana. Ia menghela nafas panjang. Kini mereka duduk berdampingan di bawah pohon willow sambil menyaksikan keramaian di kejauhan. Selama beberapa saat mereka hanya duduk diam, tak saling bicara atau melakukan apapun.

“Hana?”

“Ya?”

“Apakah mungkin kita bisa kembali ke masa sekarang?”

“Maksudmu?”

Gus mendesah sebelum berkata, “Maksudku bisakah kau lupakan yang dulu dan kita memulai awal yang baru?”

“Aku tidak mengerti.”

Gus mencondongkan tubuhnya ke arah Hana, lalu meraih dagu gadis itu untuk membuatnya mendongak. Dengan perlahan tapi pasti Gus mendekatkan bibirnya ke arah bibir Hana, kemudian menyatukan bibir mereka. Gus suka reaksi terkejut dari Hana. Ia meraih tenguk Hana dan memperdalam ciuman mereka. Keluguan Hana memberinya keberanian dari sekadar menempelkan bibir menjadi mencium dengan perlahan. Ciuman perlahan itu lama-lama menjadi lumatan karena sebuah kerakusan untuk mereguk rasa yang baru dikenalnya.

Hana mencengkram kerah baju Gus, ia tak tahu harus bagaimana bereaksi terhadap ciuman mendadak itu. Ketika bibir Gus semakin ragus mencecapnya, kesadaran itu menyergapnya. Ciuman pertamanya direnggut cowok yang lebih muda. Keterkejutannya menyengat dengan rasa yang tajam. Hana panik dan berusaha mendorong Gus, tapi pria di depannya bergeming. Hana menggigit bibir Gus saat pemuda itu tak kunjung melepasnya.

“Aduh!” nampak setitik noda darah di bibir Gus ketika mereka sudah melepaskan tautan bibir mereka. Keduanya terengah dan untuk beberapa saat saling berhadapan dalam kebisuan.

Plak! Sebuah tamparan keras dari Hana mendarat di pipi Gus. Gadis itu lalu berlari pergi. Begitu saja.

Baik Gus, maupun Hana menghilang sepanjang pernikahan Elkan. Sisa hari mereka gunakan untuk menyendiri. Gus di kamarnya sedang mengompres pipinya, bekas tamparan Hana tadi, sedangkan Hana setelah berganti pakaian dan bebersih, ia langsung menuju ranjangnya. Perasaannya kacau, dan sesekali ia masih memegangi bibirnya yang tadi disinggahi bibir Gus.

Di kamarnya, melalui jendela Gus mengintip halaman yang masih dipenuhi tamu. Sambil masih mengompres pipinya, matanya mengarah ke bawah pohon willow. Adegan tadi berputar di benaknya. Awalnya ia kira Hana sudah mulai menerimanya dan bersiap seandainya Gus melalukan lebih dari sekadar percakapan biasa. Akan tetapi Gus salah, ia mengambil langkah terlalu cepat.

Ciuman tadi bukannya menghapus kesedihan yang mungkin tertinggal di benak Hana, melainkan justru membuatnya terguncang. Terbukti ketika Hana menamparnya. Gus meringis ketika ia meletakkan kompresnya, meski penolakan adalah ujungnya tapi ia mendapat bonus. Sebuah hadiah besar berupa bibir perawan Hana yang lugu dan manis.

Ketukan di pintu berhasil menyadarkan lamunan Gus. Tak menunggu jawaban si pemilik, gagang pintu terbuka dan menampakkan sosok Rod. “Hai Bung,” sapaan itu tak berlanjut karena Rod heboh duluan. “Apa yang terjadi? Kenapa pipimu memerah dan bibirmu …,”

Otak Gus berpikir dengan kilat, dan mulutnya menjawab dengan sama cepatnya, “Aku tadi tejembab, jatuh, dan terantuk.”

Rod tersenyum tipis. Ia tentu tahu apa yang terjadi setelah jawaban konyol yang dilontarkan adiknya itu. Posisi luka Gus mencurigakan apabila kronologi yang sebenarnya sesuai dengan yang barusan diceritakan. “Hm baiklah. Sekarang sesi foto, tapi kami tidak dapat menemukanmu dan Hana.”

Dalam hati Gus bersyukur karena Hana tidak perlu ikut foto dalam pernikahan Elkan. “Aku akan turun sebentar lagi.”

“Dengan keadaanmu?” tanya Rod yang dijawab anggukan oleh Gus. “Yakin?” Gus mengangguk lagi. Ia akan ada di sana di hari bahagia kakaknya.

***

Seperti pagi-pagi biasanya, Gus pergi ke rumah Hana untuk bermain catur atau pingpong bersama Tuan Kimura. Akan tetapi pagi itu suasana rumah Tuan Kimura sepi. Lampunya juga padam. “Kira-kira mereka ke mana ya, Dock?” tanya Gus pada Dock yang hanya duduk di sisi luar pagar sambil menjulurkan lidahnya.

“Ya, mungkin mereka sedang keluar,” ujarnya pada Dock dan pada dirinya sendiri.

“Bung, kau tahu tidak di mana Hana?” Gus mengirim pesan singkat kepada Rod setelah ia sampai di rumah.

Beberapa waktu kemudian Rod membalas, “Setahuku di tempat kerjanya.”

Ah benar, biasanya Hana sudah berangkat kerja. “Rod, bolehkah aku meminta kontak Hana?”

Selang beberapa detik kemudian Gus menerima kontak Hana. Ia segera mengirimkan pesan singkat padanya.

“Halo Hana. Selamat pagi. Ini Gus.”

Pesan itu tak mendapatkan tanggapan hingga jemari Gus yang gatal mengetik beberapa kata dan mengirimkannya lagi.

“Omong-omong hari ini aku tidak dapat menemukan ayahmu di rumah. Di mana beliau?” Gus berdebar-debar ketika mengirimkan itu? Yah tentu saja, apalagi setelah insiden di bawah pohon willow itu. Gus berniat menanyakan Tuan Kimura, dan kalau boleh mengajak Hana makan siang sekaligus meminta maaf. Kalau Hana tidak mau maka Gus akan menjemputnya di tempat kerja. Gus tersenyum-senyum sendiri saat memikirkan idenya itu.

Gus lanjut beraktivitas seperti biasa, tapi ia jadi gelisah setelah tiga puluh menit kemudian. Hana tidak menjawab pesannya. Hana membencinya, itulah yang ada di benak Gus. Ia jadi menyesal mengungkapkan identitasnya pada pesan pertama.

“Rod. Apa Hana membalas pesanmu?”

Tidak ada seorangpun dari dua orang itu yang membalas pesannya.

---

Bersambung

---

Part kali ini sependek kisah kita. Canda.😉

Falling In To August (TAMAT)Onde histórias criam vida. Descubra agora