Bab 3. Rencana konyol

98 18 0
                                    

Gyana sungguh tidak mengerti, dari sekian banyak penduduk bumi, kenapa harus pemuda ini yang duduk di depannya? Mengulum senyum, terus menatapnya seolah dirinya adalah pemandangan indah. Namun, Gyana tahu jika semua itu hanya pencitraan di hadapan orang tua mereka. Lagi pula, sejak kapan seorang Pradikta benar-benar menyukainya? Sejak dulu, yang gadis itu ingat adalah, Pradikta si pembully, Pradikta si brengsek yang sering mempermalukan dirinya.

"Aku bawa ini, siapa tahu kamu suka." Pradikta tampak menyodorkan sekotak cokelat setelah mengambil benda itu dari ransel yang kini diletakkan di lantai rumah makan.

"Gue nggak doyan cokelat." Entah hanya perasaan Gyana saja, atau memang mata Pradikta kini menunjukkan sorot geli akan jawaban yang baru saja dirinya lontarkan.

"Bukannya cokelat itu makan kesukaan kamu?" Bukan Pradikta yang bersuara, melainkan laki-laki yang kini duduk di sampingnya. Siapa lagi jika bukan ayahnya?

"Dia ini suka banget sama cokelat, Dik. Itu nolak cuman gengsi aja," imbuh ayahnya yang membuat Gyana hanya bisa menahan kesal.

"Iya, Om. Dikta tahu kok." Pemuda itu kembali menyimpulkan senyum geli yang di mata Gyana seperti sebuah ejekan.

"Terima aja, nggak ada racunnya kok." Hanya tatapan sengit yang bisa Gyana lemparkan pada sosok menyebalkan di depannya ini.

"Ngomong-ngomong, kalian ini selalu satu sekolah sejak SMP, kan? Dan sekarang sekampus?" Septi yang sejak tadi hanya menyimak ikut bersuara.

"Wah, kayak yang udah diatur gitu, ya. Bisa terus bareng-bareng, jangan-jangan beneran jodoh anak kita ini, Gun." Pram ikut menimpali dan semua yang ada di sana tertawa, kecuali Gyana tentu saja. Gadis itu sudah bisa menebak ke mana arah pertemuan ini bermuara. Apa tujuan yang melandasi sudah jelas terlihat.

"Dulu pas masih kecil, kalian ini sering banget main bareng. Kamu nggak inget, Gy?" Pram kembali bersuara, dan arah pandang semua orang kini tertuju pada Gyana yang menunjukkan aura masam.

"Enggak, Om," jawab gadis itu malas sembari melirik pemuda di depannya yang tidak juga mengalihkan pandang. Menyebalkan sekali, jika boleh ingin sekali Gyana colok mata itu menggunakan sumpit yang tergeletak di depannya.

"Dulu masih pada lucu-lucu, ya. Nggak nyangka sekarang udah pada sebesar ini." Septi ikut menimpali.

"Sedikit lagi udah cocok buat dinikahin, ya," imbuh Pram yang kembali disambut tawa oleh yang lainnya.

Gyana benar-benar merasa muak dengan pertemuan ini. Apalagi sejak tadi Pradikta seperti menikmati kekesalannya. Apa sebenarnya tujuan pemuda ini?

"Jadi gimana Gya? Kamu setuju kalau dijodohin sama Dikta?" Gyana tersentak oleh pertanyaan ayah Dikta. Meski sudah bisa menebak tujuan pertemuan ini, ditembak secara langsung seperti sekarang tentu saja membuatnya gelagapan.

"Dikta sudah setuju, tinggal keputusan dari kamu," lanjut Pram dengan sorot penuh harap.

Gyana yang merasa syok sekaligus bingung tidak mampu bersuara, lalu ditatapnya wajah teduh ayahnya yang kini tengah menatapnya. Entah Gyana yang salah mengartikan, atau ayahnya memang seperti tengah mengisyaratkan pada dirinya untuk mengatakan iya.

"Gya kayaknya pusing, Yah, pulang sekarang!" Gadis itu segera bangkit dan melenggang pergi. Sementara semua orang yang ada di sana hanya tersenyum penuh pengertian, seolah sudah bisa memprediksi hal seperti ini akan terjadi.

"Lihat anak, Om, Dik. Kamu masih sanggup?" Gunawan tidak ingin memaksa, jika Pradikta ingin mundur saat ini juga dirinya tidak masalah.

"Enggak, Om." Pemuda itu menggeleng dengan tegas. "Dikta udah suka Gya dari lama. Jadi restu Om kali ini akan Dikta jadikan semangat untuk bisa meluluhkan hati putri, Om."

MENGEJAR CINTAMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang