Bab 23. Kelanjutan hubungan

74 13 0
                                    

"Cukup!" Gyana mengepalkan tangan saat mengatakan itu. Bahkan mata gadis itu terpejam karena sadar yang dilakukannya adalah aksi supernekat yang akan berakhir memalukan. Apalagi saat membuka mata, dua orang yang sejak tadi berdebat itu kini memfokuskan perhatian padanya. Di sini, Gyana merasa jika dia adalah pengganggu yang baru saja membuat susana tidak menyenangkan muncul karena kehadirannya.

"Kamu udah denger, dia udah bilang cukup, kan?" Dikta mengatakan itu sembari melangkah mendekati Gyana dan meninggalkan Luna yang kini menyorotkan aura penuh kekecewaan.

"Ayo, pergi!" Pemuda itu dengan tanpa perasaan menggandeng tangan Gyana yang hanya bisa pasrah. Namun, gadis itu terus menoleh ke belakang. Merasa tidak enak pada Luna yang kini tengah menangis.

"Lo, tega banget, si!" Gyana menyentak tangannya yang digenggam oleh Dikta. Merasa kesal karena pemuda ini seperti manusia tidak berperasaan.

Awalnya Dikta hanya mengangkat alis bingung, tetapi saat sadar apa yang Gyana maksud lantas mengembus napas lirih. "Belajar ngomong pelan bisa?" katanya.

Gyana masih memberengut kesal sembari melongok ke arah Luna yang sosoknya tidak terlihat dari tempat mereka kini berdiri.

"Kamu khawatirin Luna?" tanya Dikta. Dan Gyana tidak perlu menjawab iya agar Dikta paham.

Pemuda itu lantas mengangguk meski Gyana tidak menjawab iya atau pun tidak. Merogoh saku celananya, dikeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi seseorang.

"Nyet, kesempatan lo udah dateng. Dia di taman kampus." Setelah mengatakan itu Dikta memasukan kembali ponselnya ke saku jas almamater yang dikenakannya.

"Urusan Luna udah beres." Gyana malah mengernyitkan kening tanda tidak paham. "Yang tadi aku hubungi itu Agus, dia suka Luna dan sekarang kesempatan dia buat pedekate."

Gyana merasa tenang, tetapi tidak sepenuhnya. Kali ini yang membuatnya gelisah adalah kelanjutan cerita mereka. Setelah dirinya mengatakan cukup tadi, selanjutnya apa?

"Ayuk!"

"Ke mana?" tanya Gyana bingung dengan maksud kata ajakan itu.

"Pulang, kan?"

"Gue masih ada kelas." Masih belum terbiasa menggunakan aku karena rasanya lidahnya kaku untuk bersikap lembut pada pemuda ini. Dikta paham dan tidak mempermasalahkannya.

"Ya udah aku anter ke kelas."

"Nggak usah!" tolak Gyana cepat. Dikta malah mengangkat alis bingung seperti kalimat penolakan itu sesuatu yang aneh.

"Gue nggak mau jadi bahan ledekan temen-temen." Dikta semakin menunjukkan wajah bingung dan itu menyebalkan di mata Gyana.

"Nggak mungkin kan tiba-tiba gue baik sama lo." Gyana sebenarnya malu diledek oleh Reni dan juga Viko. Belum lagi teman lain yang juga akan membicarakannya jika sampai jalan berdua dengan pemuda ini.

"Pokoknya gue nggak suka jadi pusat perhatian."

Dikta mencoba untuk paham dengan maksud Gyana. Gadis ini pasti malu setelah selama ini bersikap ketus padanya, dan tiba-tiba mereka jalan berdua.

"Oke," jawab pemuda itu. "Tunggu dulu!" lanjutnya cepat saat sosok Gyana langsung pergi seperti ingin cepat-cepat melarikan diri.

Gyana terpaksa berhenti karena Dikta menahan ranselnya. Jika kemarin-kemarin gadis itu akan marah, maka kali ini tidak mempermasalahkan kelakuan Dikta ini.

"Jadi status kita?" tanya Dikta yang ingin kejelasan. Gyana tidak mungkin mengatakan cukup tanpa ada kelanjutan yang jelas bukan?

Gyana yang mendapat pertanyaan seperti itu tentu saja bingung. 'Terserah lo."

Dikta berdecap pelan, lalu menunjukkan senyum. "Bisa belajar ngomong lembut nggak?"

"Kalau nggak bisa?" Gyana kesal karena merasa diatur.

Dikta malah tertawa geli mendengar nada ketus itu terus muncul. Sepertinya sikap inilah yang membedakan Gyana dengan gadis lain. Dan Dikta menyukainya, aneh memang.

"Oke, terserah kamu. Tapi bisa perjelas hubungan kita?"

"Hubungan apanya?" Gyana benar-benar tidak pandai menjaga sikap apalagi pada mantan rivalnya ini.

Dikta malah tampak berpikir, lalu mengangguk-anggukan kepalanya seperti baru saja mendapat ide. "Nanti sore kamu nggak ada acara, kan?"

Gyana menggeleng dan Dikta melanjutkan kalimatnya. "Kita ketemu di Kafe Sudut, aku tunggu di sana."

Meski penasaran apa yang akan Dikta lakukan nanti, Gyana memutuskan untuk mengangguk saja.

*

Perasaan Gyana selama mengikuti kelas sungguh tidak baik-baik saja. Matanya selalu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Menanti waktu yang seolah-olah tidak kunjung berputar. Malah seperti tidak bergerak sama sekali. Dan saat pada akhirnya waktu pulang tiba, gadis itu persis seperti anak TK yang nyaris bersorak girang dan berlari keluar.

Viko dan Reni yang bingung sampai melongo dan saling melempar pandang.

"Kenapa tuh anak?" tanya Reni bingung. Sementara Viko hanya mengedikkan bahu tak acuh.

Sementara Gyana terus berlari menuju ke parkiran motor, sembari membayangkan apa kiranya yang akan terjadi nanti. Gadis itu sampai tersenyum sendiri seperti orang konyol. Beruntung Kafe Sudut yang Dikta maksud lokasinya tidak jauh. Tidak lama Gyana membelokkan sepeda motornya masuk ke area parkir kafe.

Dengan jantung berdegup cukup hebat, gadis itu mendorong pintu kafe. Mengedar pandang, mencari sosok Dikta yang tidak terlihat. Memutuskan duduk di salah satu bangku, gadis itu mencoba menghubungi nomor Dikta yang masih dinamaninya dengan 'musuh abadi'.

Tidak diangkat, nomor pemuda itu malah tidak aktif. Mencoba mengirim pesan, sama saja, hasilnya nihil. Berdecap kesal, Gyana mulai berpikiran buruk. Jangan-jangan pemuda itu sedang mempermainkanya. Bagaimana jika pemikiran itu benar? Bagaimana jika sekarang pemuda itu malah sedang menertawainya? Merayakan keberhasilan karena sukses membodohinya?

"Permisi, Gya, kan?"

Gyana tersentak oleh suara di sampingnya, seorang pemuda dengan seragam kafe kini berdiri di samping mejanya. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan pemuda itu.

"Kata Dikta suruh nunggu sebentar, dia lagi ada keperluan. Nanti kalau udah selesai sama urusannya, langsung nyusulin ke sini." Penjelasan itu Gyana jawab dengan anggukan. Mencoba menghapus segala pemikiran buruk yang tadi melintas di kepalanya.

Ayahnya tidak mungkin salah menilai orang. Jika laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu mengatakan Dikta pemuda baik, maka sudah bisa dipastikan pemuda itu adalah orang baik.

Mencoba menunggu dengan sabar, gadis itu memilih menikmati lagu yang terputar dari pengeras suara. Sampai, satu suara terdengar dari pengeras musik. Gyana mengerutkan kening saat satu lagu yang kini terputar seperti tidak diputar dari kaset. Namun, seperti ada orang yang menyanyikannya langsung. Lagu dengan judul sempurna dari Andra and The Backbone mengalun begitu merdu. Gyana yakin jika suara itu tidak asing di telinganya.

Gadis itu mengedar pandang, dan menemukan Dikta kini tengah duduk sembari memangku gitar. Sedang mengalunkan lagu tersebut sembari menatap ke arahnya. Jangan samakan Gyana seperti gadis lain yang akan terharu mendapatkan momen seperti ini. Gadis lain mungkin akan tersipu, merasa terharu, dan langsung menghampiri pemuda di depan sana. Namun, yang Gyana lakukan malah mengedar pandang, lalu menundukkan wajah malu saat sadar semua orang yang ada di sana kini memusatkan perhatiannya pada Dikta. Dan sebelum pengunjung lain menyadari keberadaannya di tempat ini sebagai orang yang Dikta beri lagu itu. Gadis itu malah bangkit dan melarikan diri. 

***

Makasih yang udah mampir. :)

MENGEJAR CINTAMU Where stories live. Discover now