Pertandingan Penentuan

2 1 0
                                    

"WIjaya! Wijaya!" Yel-yel yang mengelu-elukan lawan tandingnya tidak membuat Arifin Prasetyo menjadi gentar.

Pemuda itu memegang raketnya dengan posisi siaga dan mata yang awas, bersiap menantikan servis yang akan dilakukan oleh lawannya. Mereka baru saja melalui dua set permainan dengan kemenangan satu banding satu. Angka kemenangan Arifin yang tipis di babak kedua, membuat pemuda itu harus berjuang sekuat tenaga memenangkan pertandingan penentuan ini.

Pukulan dilayangkan oleh Wijaya, melambung tinggi ke belakang. Arifin melakukan gerakan cepat melangkah mundur dan menghentakkan kakinya melayang di udara, untuk kemudian sekuat tenaga melakukan pukulan balik, serangan telak pada Wijaya.

Sayang, sekali smash yang dilakukan oleh Arifin dapat dengan mudah dibalikkan oleh Wijaya. Lawan tandingnya yang berusia lebih tua dua tahun darinya tampak jauh lebih berpengalaman dari pemuda kurus itu. Pemuda desa berusia lima belas tahun itu, berusaha keras mengimbangi permainan hebat dari lawan mainnya.

"Out!" Wasit garis menyerukan jika bola yang dipukul Arifin keluar dari kotak garis. 

Wijaya tersenyum tipis, dia akan memulai servis kembali. Peluh di tubuh kedua pemain tunggal itu terlihat bercucuran. Napas mereka sudah terengah-engah di permainan babak akhir. Angka tipis yang terlihat di papan, membuat mereka semakin tegang untuk memenangkan pertandingan dengan penuh kecermatan.

"Tuhan, ini kesempatanku, tolong aku," bisik Arifin perlahan.

Pemuda desa itu berangkat menuju ibu kota, demi mengikuti seleksi atlet melalui pertandingan untuk memperebutkan beasiswa yang sangat diinginkannya. Beasiswa yang dia harapkan untuk bisa mengikuti pelatihan khusus dalam klub bulutangkis tingkat provinsi, dan dia tidak boleh kalah.

WIjaya melakukan servis pendek, membuat Arifin terpaksa harus melambungkan bola berbulu tersebut. Seperti dugaannya lawannya segera melakukan lompatan smash handalan yang amat ditakuti musuh. Arifin berlari mengejar kok yang menukik tajam bagaikan burung elang mengincar mangsa dan … dia berhasil memukul balik kok ke arah lawan, melewati batas net dengan amat sempit.

Di sisi lain, Wijaya dengan gesit berlari ke depan dan menangkis serangan Arifin. Bola kecil itu kembali melambung ke atas dan kesempatan tersebut segera digunakan oleh Arifin untuk melakukan Smash. Pemuda itu berlari ke tengah lapangan, melompat tinggi dan memberikan pukulan telak ke arah area lawan.

Suasa seketika senyap dan penonton menjadi diam untuk beberapa detik lamanya. Semua mata tertuju pada kok yang menukik tajam dan semua telinga menanti keputusan dari hakim garis. Arifin hanya dapat berharap cemas, karena ini adalah serangan terakhir, angka penentuan apakah dia akan menang atau kalah.

"Out!" hakim garis memutuskan bola yang dipukul Arifin dengan keras tidak mendapatkan angka.

Arifin tertunduk lemas, semua usaha yang dilakukan kali ini sia-sia. Dia tidak berhasil memenangkan pertandingan sehingga harapannya untuk menjadi pemain bulutangkis tingkat dunia menjadi tersendat. Pria itu dengan senyum kecut menyalami lawan tandingnya, tetapi dia tetap berbesar hati untuk mengakui keunggulan Wijaya.

Sementara yel-yel yang bersukacita dengan kemenangan WIjaya terdengar, Arifin duduk di pinggiran lapangan dengan sedih. Dia memandang raket yang dibeli dari hasil bekerja sambilan di tengkulak ikan.

Pemuda itu memaksakan senyuman, dia menatap jam di dinding yang menunjukan jika dua jam lagi travel yang akan mengantarnya kembali akan menjemput. Arifin segera mengemasi perlengkapannya dan berjalan gontai.

"Arifin Prasetyo?" Pemuda itu menghentikan langkahnya menoleh ke asal suara.

"Bapak memanggil saya?" Arifin memperhatikan seorang pria yang berjalan ke arahnya.

"Perkenalkan saya Heri, pelatih di Dragon Warrior kota Surabaya." Pria tersebut mengulurkan tangan pada Arifin.

"Saya Arifin, Pak. Senang bertemu Anda langsung, saya sangat mengagumi Bapak." Wajah pemuda itu terlihat sangat berseri-seri.

"Bapak ingin mengajakmu menemui seseorang, ikuti saya." Heri mendahului langkah yang diikuti oleh Arifin.

Mereka tiba di hadapan seorang pria setengah baya dengan perut sedikit buncit. Pria yang mengenakan kaos olahraga dengan logo sebuah produk makanan dalam negeri itu, tersenyum ramah pada Heri dan Arifin. 

"Sore, Pak Chandra, perkenalkan ini Arifin Prasetyo." 

Arifin pun mengulurkan tangan dengan hormat menjabat tangan Pak Chandra yang terulur padanya. Sepintas dia merasa pernah melihat pria tersebut, raut wajah itu terasa tidak asing baginya.

"Arifin, aku melihat ketangguhanmu dalam melawan pesaing-pesaingmu semenjak babak penyisihan awal dan aku sangat kagum dengan usaha kerasmu, karena itu aku akan memberikan beasiswa khusus untukmu. Dibawah pengawasan Heri, aku yakin kamu akan berkembang lebih pesat." 

Arifin terpana tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Dia diam membisu dengan pandangan yang terarah pada Pak Chandra. Senyuman tulus di wajah pria itu, membuat Arifin menjadi lebih kebingungan.

"Bagaimana Arifin? Ini kesempatan langka." Ucapan Pak Heri menyadarkan Arifin dari keterkejutannya.

"Be--benarkaH? Sa--saya tidak salah mendengar? Bukankah saya kalah di pertandingan tadi?" Arifin berusaha memastikan apa yang didengarnya tadi.

Sebagai seorang anak desa yang berlatih di lapangan olahraga di sekolah, Arifin tidak pernah memiliki pelatih khusus. Dia menyukai olahraga ini sejak kecil, semenjak ibunya melarang dirinya bermain sepak bola. Arifin melatih fisik hanya dengan berlari di tepi pantai.
 

"Kau memang kalah, tetapi cara bermain dan kegigihanmu, membuat Pak Chandra memutuskan untuk merekrut mu juga." Pak Heri tersenyum melihat wajah tak percaya Arifin dengan netra hitamnya yang terbelalak.

"Tentu saja saya mau Pak. Terima kasih, Terima kasih atas kesempatan yang diberikan padaku." Arifin menggenggam tangan Pak Chandra dengan wajah berseri-seri.

"Bagus! Bagus! Ingat kau harus giat berlatih, mengenai sekolahmu jangan khawatir, semua sudah ada dalam program beasiswa." Ucapan Pak Heri membuat Arifin semakin kegirangan.

"Sampai bertemu minggu depan, Arifin. Semangat!"

Arifin dengan hati yang berseri-seri meninggalkan kota Surabaya, kembali ke sebuah desa kecil nelayan Karangsari, yang terletak di pesisir pantai kecamatan Tuban. Di dalam travel, dia memejamkan mata dengan ucapan syukur. 

Sengaja pemuda itu tidak mengabari keluarganya di desa, karena ingin secara langsung menyampaikan kabar gembira ini. Berkat dukungan kedua orang tuanya yang hanyalah pedagang ikan di pasar, Arifin bersemangat melatih diri. 

Lima jam perjalanan, akhirnya pemuda itu tiba di rumah kecilnya yang nyaris roboh akibat angin putih beliung seminggu lalu. Arifin mengetuk pintu rumah di keheningan malam, dia yakin telah mengunggah tidur kedua orang tuanya.

"Anjani? Kau belum tidur?" Arifin terkejut ketika melihat adik perempuannya yang berusia sepuluh tahun membukakan pintu untuknya.

Anjani tidak menjawab melainkan menggelengkan kepalanya. Gadis kecil itu dengan wajah sembab, memeluk kakaknya dengan erat. Sikap Anjani membuat Arifin menjadi semakin bingung dan membuatnya penasaran.

"Kenapa Anjani menangis? Di mana ayah dan ibu?" Arifin membimbing adiknya masuk dan menutup pintu rumah. 

Mereka berjalan hingga kamar, Arifin mengetuk perlahan dan membukanya. Dia terkejut melihat wajah pucat, kuyuh dan penuh air mata ibunya, sedangkan sang ayah dudul di lantai bagaikan mayat hidup

"A--apa yang terjadi?"


 

Pejuang TangguhWhere stories live. Discover now