Menanggung Hutang

0 0 0
                                    

"Apa yang terjadi? Bapak! Ibu! Kenapa kalian menangis?" Arifin berjongkok di lantai dan mengguncang bahu ayah dan ibunya. 

Lantai dari semen tersebut terasa dingin menusuk kulit, tetapi tidak membuat Bambang, ayah Arifin bergeming. Pria itu tetap diam dengan pandangan kosong menatap ke arah depan, seakan tidak bisa melihat kehadiran anak laki-lakinya. 

Arifin mengalihkan pandangannya ke arah Nanik, wanita yang melahirkannya itu terlihat begitu terguncang, menangis meraung tak ada hentinya. Arifin menghampiri wanita itu dan memeluknya, membiarkan kaosnya basah oleh keringat dan air mata ibunya.

"Anjani, apa yang terjadi?" Arifin menatap adiknya yang masih sesegukan.

"Tadi Bos Handoko dan anak buahnya kemarin, Kak." Ucapan Anjani membuat Arifin terkejut.

"Handoko, rentenir itu?" tanyanya tak mengerti.

Handoko adalah Tuan tanah yang sangat kaya rasa di desanya. Pria itu selain memiliki banyak tanah, perkebunan dan memiliki puluhan perahu nelayan, juga kabarnya memiliki hotel dan restaurant yang tersebar di Jawa Timur. Pria itu seringkali menjadi tempat para penduduk untuk berhutang, meskipun bunganya cukup tinggi.

"Iya, Kak," sahut Anjani polos.

Arifin menatap ayah dan ibunya tidak mengerti. Selama ini meskipun mereka seringkali hidup kekurangan, tetapi tak sekalipun orang tuanya berhutang pada siapapun. Bahkan tidak dengan seribu rupiah, yang langsung akan mereka ganti secepatnya. Jika Tuan tanah itu sampai datang ke rumahnya, itu berarti hutang yang dimiliki sangat besar.

"Apa Ibu dan Bapak memiliki hutang dengan Boss Handoko?" Arifin semakin kesal melihat kedua orang tuanya yang tak juga menjawab pertanyaannya. 

"Ini semua gara-gara Gunawan, pamanmu." Nanik akhirnya membuka suara di sela-sela isak tangisnya. "Dia meminjam sertifikat tanah rumah kita dan sawah. Dia bilang dalam waktu dua bulan akan mendapatkan keuntungan berlipat dari usaha barunya, tapi apa yang terjadi, hampir setahun tidak dikembalikan dan ternyata, Gunawan meminjam uang pada Boss Handoko lalu sekarang dia menghilang." 

"Ini semua karenamu, Pak'e! Kau seharusnya tidak mempercayai adikmu yang pemalas dan pandai bicara itu!" teriak histeris Nanik terdengar sangat pilu. 

Arifin terkejut mendengarkan penjelasan ibunya. Dia tidak menyangka paman Gunawan yang selalu ramah dan lucu, juga orang sering mengajaknya bermain, tega melakukan hal tersebut pada keluarganya. Pemuda yang seharusnya datang memberikan kabar gembira, kini duduk lemas, bersimpuh di lantai dengan tubuh yang lemas.

"Tak golek'i Gunawan trus tak seret de'e mrene!" Bambang tiba-tiba saja berdiri dengan suara bariton marahnya, dia hendak mencari dan menyeret adiknya Gunawan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pria itu menuju ke bagian belakang rumah dan mengambil sebuah sapu rumah. Wajah Bambang memerah dengan mata yang melotot marah. Dia melewati istri dan Arifin yang masih memeluk anak gadisnya, menuju ke pintu keluar. Tekad Bambang sudah bulat untuk menghajar adik kandungnya itu.

"Mau kemana kau, Ayah! Gunawan sudah tidak ada! Dia sudah minggat!" Nanik berteriak histeris. "Tarik Ayahmu, hentikan dia dari berbuat onar." 

Arifin segera menghampiri Bambang dan menarik tangan pria itu sebelum mencapai pintu keluar. 

"Ayah, berhenti. Kita bicarakan lagi! Kita pikirkan jalan keluarnya dengan kepala dingin!" Arifin sekuat tenaga menarik tangan ayahnya yang kurus kering itu, mengingatkan pria setengah baya tersebut apa yang selalu diajarkan padanya, menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

Bambang yang masih dibalut emosi itu hampir saja mendaratkan pukulan ke tubuh Arifin. Tangannya yang memegang gagang sapu sudah melayang tinggi, tetapi berhasil ditahan oleh Nanik yang dengan cepat berlari ke arah Bambang, sementara Anjani memeluk tubuh ayahnya dengan erat sambil menangis meraung.

"Ileng, Pak'e, ileng." Nanik menangis pilu berharap agar Bambang sadar dari emosinya. 

"Aku harus bagaimana, Bu?" Pria setengah baya itu kembali tersungkur di lantai bersimpuh di bawah kaki Nanik.

Arifin terenyuh melihat keluarga kecilnya. Dia menggenggam kedua belah tangannya dengan erat. Emosinya sebagai seorang pemuda remaja tersulut ketika mendengar tangisan pilu dan menatap ketiga orang yang dia cintai terluka. Seumur hidupnya yang baru lima belas tahun, ini pertama kali dia melihat ayah dan ibunya ribut dan menangis.

"Mungkin kita bisa meminta keringanan dari pak Handoko, Pak'e." Arifin menarik tubuh Anjani agar duduk di kursi dan dia membimbing ayah dan ibunya untuk berdiri dari lantai.

"Boss Handoko mau wes teko karo anak buahne. Awak'e dewe diwei waktu rong dino, Nak," ucap Nanik lirih, yang menegaskan jika Handoko dan anak buahnya hanya memberikan waktu dua hari kepada mereka untuk melunasi hutang.

"Kalau tidak kebayar, gimana, Bu?" Arifin memandang ibunya dengan putus asa.

"Omah iki karo sawah bapakmu bakal disita. Ibu dan Bapak harus megawe melok pak Handoko gak digaji, dihitung motong utang karo Pak Handoko, durung maneh hutang Judi. Pak Lik Gunawan nganggo jenenge bapak." Perkataan ibunya membuat Arifin tersentak. 

Rumah dan sawah mereka akan disita, sementara kedua orang tuanya harus bekerja rodi pada Boss Handoko tanpa di gaji. Belum lagi desakan dari para rentenir, tempat pamannya berhutang. Hutang yang diambil dengan menggunakan nama ayahnya, Bambang. Lalu, bagaimana nasib adiknya Anjani yang masih sd kelas lima. Napas Arifin menjadi sesak.

"Sajane piro sih utang Pak lik Gunawan?" Arifin benar-benar dibuat penasaran dengan jumlah hutang pamannya itu.

"Utangnya pak lik mu sama tuan Handoko cuma lima puluh juta, tapi hutang kalah judinya itu ada satu milyar! Coba duit teko endi sak mono akehne?" Nanik kembali meraung keras. 

Kepala Arifin seketika berdenyut keras. Uang lima puluh juta yang dipinjam Gunawan pada Handoko tidaklah seberapa dibanding hutang judi yang mencapai satu milyar. Dari mana keluarganya bisa mendapatkan uang sebanyak itu, mengingat jika ibunya hanya seorang pedagang ikan di pasar dan ayahnya hanya memiliki sepetak sawah, sedangkan dirinya hanyalah seorang remaja.

"Kenapa Pak lik Gunawan tega …." Tanpa sadar air mata menetes di pipi pemuda itu.  

Malam itu dilalui mereka dengan hati yang tercabik-cabik. Tidak ada satupun yang merasa lapar, meskipun perut mereka kosong sedari siang. Peristiwa yang terjadi membuat mereka terguncang dan harus memutar otak.

"Besuk, bawa Anjani ke rumah nenek. Kalian tinggalah di sana sementara waktu," ujar Bambang yang akhirnya bisa mengendalikan diri.

"Lalu Bapak dan Ibu gimana?" Arifin menatap ayah dan  ibunya yang terlihat sangat putus asa.

"Bagaimana lagi, kami harus bekerja pada Boss Handoko," sahut Bambang pasrah.

"Seumur hidup, tanpa digaji?" Arifin rasanya tidak rela jika kedua orang tuanya harus menanggung beban yang bukan kesalahan mereka.

"Boss Handoko, janji akan menghitung gaji kami sebagai pelunasan hutang judi dan sertifikat, asal bapak dan ibu mengabdi padanya. Seumur hidup pun gak kebayar, Nak." Ucapan putus asa ayah dan ibunya membuat Arifin bertekad kuat.

"Arifin akan kerja keras, Pak, Bu. Arifin akan mencari uang dan mencari tahu dimana pak lik Gunawan berada." tekadnya sudah bulat, jika saja dia tidak bisa masuk club, pemuda itu rela, demi mencari uang tambahan untuk menebus orang tuanya.

Pejuang TangguhDonde viven las historias. Descúbrelo ahora