1. Ancaman

16 1 0
                                    


"Apa?! kamu jangan bercanda La, itu tidak mungkin." Rendy melebarkan matanya ketika aku memberikan sebuah test pack dengan garis dua padanya.

"Ini beneran, Ren, aku enggak bercanda," jawabku sambil terus mengacungkan benda itu di hadapannya.

"Tapi kita tidak pernah melakukan itu!" Rendy masih berusaha menyangkal.

"Kamu ingat kejadian malam itu saat ulang tahun Poppy, teman kamu." Aku membuka ponsel lalu memperlihatkan foto-foto saat Rendi menggendongku.

"Iya, tapi kita tidak berbuat apa-apa, La. Saat itu kamu pingsan dan aku mau nolongin kamu. Foto-foto itu saat aku membawamu ke kamar Poppy untuk beristirahat dan kita nggak ngapa-ngapain!"

"Kamu jangan coba mengelak, Ren. Kita pacaran udah dua tahun tapi aku enggak bisa diginiin. Oke, kalau misalkan kamu bosan sama aku, tapi kesannya kamu jangan habis manis sepah dibuang, dong."

"Pokoknya aku nggak mau tanggung jawab. aku nggak ngelakuin apa-apa. Atau ... jangan-jangan kamu mengandung anak orang lain dan meminta pertanggungjawaban padaku?!" Rendy malah balik menuduhku.

"Selama dua tahun ini apa pernah aku jalan sama orang lain? Enggak 'kan? Aku cuma jalan sama kamu!"

Mendapat pertanyaan seperti itu Rendy diam karena memang selama ini aku tidak pernah pergi dengan siapapun apalagi berselingkuh.

Hubungan kami selama dua tahun ini berjalan akur dan sama-sama tahu batas, sangat jarang kami pergi berduaan. Itu sudah menjadi komitmen kami, tapi malam itu ketika kami menghadiri pesta ulang tahun Poppy, Rendy bersikeras menyangkal.

"Pokoknya enggak, aku tetap bilang enggak! Sampai kapanpun aku tidak akan mengakuinya!" Setelah berkata seperti itu Rendy bangkit lalu meninggalkanku sendiri. Sementara aku terdiam menggenggam kuat test pack bergaris dua itu. Ternyata tidak semudah yang kubayangkan untuk membuat Rendy mau menikahiku. Aku harus memikirkan cara lain supaya Rendy tidak bisa berkutik.

***

Berbekal alamat yang kudapatkan dari teman Rendy, akhirnya aku mendatangi kediamannya. Sengaja aku datang disaat jam kerja karena aku tahu saat itu Rendy tidak ada di rumah. Aku nekat dan menemui orang tua Rendy, karena kupikir ini cara lain agar Rendy tidak bisa membantah lagi.

Akhirnya aku sampai di sini, di ruang tamu kediaman orang tua Rendy. Kekasihku ini memang bukan orang sembarangan, rumahnya saja besar, jadi aku tidak salah kalau nanti menikah dengan dia. Meskipun sebenernya bukan masalah uang, aku pun tidak pernah kekurangan harta. Peninggalan Papa sangat berlimpah karena aku adalah pewaris tunggal.

Minimal jika menikah dengan Rendy dia tidak akan menumpang hidup padaku, karena orang tua Rendy pun sepertinya sebanding dengan kami, kaya raya.

"Apa?!" Reaksi itu yang kuterima ketika mamanya Rendy tahu kalau aku hamil cucunya.

"Iya Tante, maaf sebelumnya, selama dua tahun kami pacaran kami baik-baik saja tidak pernah berbuat yang melanggar batasan. Tapi malam itu kami khilaf, di pesta ulang tahun temannya Rendy. Mungkin ada teman yang mencampur minuman kami atau gimana hingga kami tidak ingat apapun." Aku menjelaskan sembari menunduk.

Sampai di situ aku berhenti menjelaskan, Mamanya Rendy yang tadi memperkenalkan diri sebagai Tante Renita terlihat syok.

"Tidak mungkin, Tante tidak percaya Rendy melakukan itu. Rendy itu anak Tante, dia baik. Bahkan selama ini dia tidak pernah mengaku punya pacar karena memang Tante menyarankan supaya dia fokus dulu kuliah dan sekarang baru kerja. Karirnya baru saja dimulai."

Aku membuang nafas berat, sepertinya harus penuh perjuangan untuk meyakinkan wanita ini bahwa ini perbuatan anaknya.

"Sudah saya bilang Tante, ini kekhilafan kami. Kami tidak sengaja melakukannya, tapi ini sudah terjadi. Saya berharap Rendy bisa bersikap dewasa. Saya sudah berbicara pada Rendy tapi sepertinya saya merasa perlu membicarakan ini dengan Tante selaku orang tuanya Rendy."

"Apa kamu punya bukti bawa kalian memang sudah pacaran lama?"

"Ada Tante, sebentar." Kemudian aku membuka ponsel dan memperlihatkan foto-foto kami ketika kami mulai menjalin hubungan, hingga wanita di hadapanku ini mau percaya kalau aku sudah pacaran dengan Rendy.

"Tante bisa lihat beberapa barang yang ada di kamar Rendy, semua itu memang aku yang belikan," tambah ku sambil menyebutkan barang-barang yang pernah aku berikan pada Rendy supaya wanita dengan dandanan glamor dihadapanku ini percaya.

"Baiklah jujur saja Tante syok mendengar ini, merasa tidak percaya kalau anak Tante yang baik itu sudah melakukannya," ucapan Tante Renita, dari nadanya dia memang masih tidak percaya dengan pengakuanku.

"Dengan satu syarat,"

"Apa itu, Tante?"

"Maaf sebelumnya, semoga kamu tidak tersinggung. Segera lakukan tes DNA begitu anak itu lahir."

Jujur saja aku kaget mendengar syarat yang diajukan oleh mamahnya Rendy, tapi aku tidak takut.

"Baiklah Tante, saya setuju."

Setelah itu aku berpamitan dan meninggalkan kediaman Rendy. Aku merasa lega karena sepertinya mamahnya Rendy tidak ada masalah. Sekarang waktunya aku memberitahu Mama, apapun yang akan dikatakan Mama aku sudah siap.

***

"Apa?!" kata yang sama untuk ketiga kalinya terdengar dari mulut Mama, setelah Rendy dan Tante Renita yang terkesan tidak percaya dengan pengakuanku. Sekarang Mama membelalakan mata termasuk pria yang berada di samping Mama, suami baru Mama yang umurnya terpaut sepuluh tahun lebih muda dari Mama.

Setelah kepergian Papa dua tahun yang lalu Mama menikah lagi beberapa bulan yang lalu dengan seorang pria yang aku pikir tidak pantas menjadi suami Mama. Pria berumur tiga puluh tahun dan itu berhasil meluluhkan hati Mama hingga Mama lupa pada anaknya. Hari-harinya dihabiskan dengan suami barunya bahkan entah sudah berapa banyak nominal yang Mama gunakan untuk berjalan-jalan ke luar negeri dengan suami barunya itu.

"Begitulah, Sayang. Anak sekarang kalau diberi kebebasan pasti akan mempermalukan kita" ucap Om Dimas, Papa tiriku yang selalu memandangku dengan pandangan aneh membuat aku sering kali bergidik melihat dia memandangku dengan tatapan seperti itu.

"Jujur saja Mama kecewa, La. Selama ini Mama memberi kepercayaan sama kamu tapi nyatanya kamu malah mempermalukan Mama seperti ini." Mamah memijit pelipisnya lalu mengusap wajahnya perlahan, wanita itu terlihat tertekan.

"Tidak usah menyalahkan Lala, Ma. Lala karena butuh teman. Semenjak mamah menikah lagi Lala merasa kesepian. Jadi jangan salahkan Lala kalau lebih sering keluar rumah.

Mendengar pembelaanku Mama yang sepertinya marah besar tidak berkata apa-apa lagi karena dia merasa kalau selama ini memang dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Om Dimas. Kulirik pria di samping Mama itu, dia mendengus. Mungkin kata-kataku berhasil menyindirnya yang selama ini telah merebut waktu Mama bersamaku.

"Kalau seandainya Mama lebih perhatian padaku mungkin aku tidak akan mencari kesenangan di luar," lanjutku sambil bangkit.

"Lala tunggu, kamu ini, orang tua belum selesai bicara main pergi saja. Tidak ada sopan santun sama sekali." suara Om Dimas meninggi.

"Apalagi, sih, Om? Aku cuma mau ngasih tahu sama kalian kalau aku hamil, itu aja, terus kalian mau ngomong apa? Mau menyalahkan aku lagi?" Aku melanjutkan langkah menuju lantai dua. Mulai saat ini aku tidak perlu berbaik-baik pada pria itu, pria yang tiga bulan yang lalu mencoba melecehkan aku ketika Mama belum pulang dari kantor.

Aku sangat menghormati Om Dimas dan berharap dia bisa menjadi Ayah bagiku untuk menggantikan Papa, tapi nyatanya yang kurasakan Om Dimas hanya ingin bersenang-senang menikmati harta peninggalan Papa saja.

Tiga bulan yang lalu bahkan dia mencoba melecehkan aku, untung saja saat itu Mama keburu pulang dan kehormatanku bisa terselamatkan. Tapi masalah baru timbul, karena dia mengancamku untuk tidak mengadukannya pada Mama.

"Jangan mengadu pada Mamamu, atau aku tidak akan segan-segan menghabisi Ibu kamu!" Itu yang dia ucapkan padaku sebagai ancaman jadi jelas sekarang apa tujuan Om Dimas menikahi Mama.

Sejak saat itu aku jadi takut jika sendirian di rumah. Pria yang tidak jelas pekerjaannya itu makin menunjukkan sikap aslinya, sayangnya aku tidak bisa mengadu pada Mama karena ancamannya.

Next?

Benci Jadi BucinWhere stories live. Discover now