2. siapa dia

3 0 0
                                    

Aku tidak tahu bagaimana Tante Renita bertemu Mama dan membicarakan masalah kehamilanku. Yang jelas pernikahan kami segera dilaksanakan meskipun Rendy tetap menentangnya.

"Sekarang atau nanti akhirnya kita akan menikah Ren. Apa kamu tidak sungguh-sungguh padaku?"

"Aku sungguh-sungguh sama kamu, La, tapi bukan begini caranya dan bukan sekarang juga. Nantilah tunggu beberapa tahun lagi setelah kamu lulus kuliah dan aku sudah punya tabungan. Saat ini karirku juga baru saja dimulai." Itu yang menjadikan alasan Rendy.

Tapi sepertinya sanggahan Rendy tidak berarti karena dia terlihat pasrah ketika Mama dan Tante Renita menentukan tanggal pernikahan kami dan ini membuatku sangat bahagia. Usahaku ternyata tidak sia-sia, akhirnya Rendy berkutik. Mungkin karena desakan Tante Renita sebagai Mamanya.

Hari ini pernikahan itu akan dilaksanakan. Aku tak henti tersenyum sambil memandangi bayanganku di cermin, bayangan seorang wanita dengan berbalut kebaya putih. Sebentar lagi akan menjadi istri Rendy, setelah itu aku akan pergi dari rumah ini tanpa takut lagi pada Om Dimas.

"Orang tua Rendy sudah datang tapi tanpa Rendy, katanya tadi Rendy berangkat duluan tapi kok belum sampai," ucap Tante Cynthia istrinya Om Drajat, adiknya Papa yang akan menjadi wali nikahku.

"Kenapa bisa seperti itu Tante?" Aku cukup kaget mendengar pernyataan Tante Chintya. Kenapa Rendy bisa berangkat sendirian? Tiba-tiba saja rasa khawatirku datang berlebihan.

"Kata Mamanya Rendy, dia pergi tergesa-gesa setelah menerima telepon yang katanya dari kamu."

"Aku tidak meneleponnya," sangkalku.

"Kita tunggu sebentar saja mungkin Rendy ada kendala di jalan tapi dia lupa mengabarimu," ucap Mama sambil mengusap pundakku.

__________________________

Tiga puluh menit kemudian ....

"Coba kamu hubungi Rendy!" Suara Mama mengagetkanku.

"Enggak bisa, Ma. Ponsel Rendi enggak aktif."

"Coba sekali lagi, siapa tahu sekarang sudah aktif."

Aku menurut, membuka ponsel yang sejak tadi kugenggam. Mencari kontak dengan nama My love, lalu mengklik ikon telepon.

Tidak aktif.

Aku mendesah berat. Kekhawatiran ini semakin menggunung.

"La .... "

Mama menyentuh pundakku dan aku kembali mendesah perlahan. Dada ini mulai sesak. Apalagi terdengar suara Tante Chintya yang baru saja masuk ke kamarku.

"Terus kalau sudah begini gimana, La?!" Mama duduk di pinggir ranjang dengan kasar.

"Harusnya kamu itu bisa jaga diri, La. Jadi perempuan, kok, murahan. Laki-laki kalau sudah dapat manisnya, ya, begitu," cibir Tante Chintya sambil berpangku tangan.

Tak lama Om Drajat, adik Papa yang akan menjadi waliku juga datang ke kamarku.

"Bagaimana ini? Sudah satu jam lebih calon pengantin prianya belum juga datang," tanya Om Drajat dengan nada khawatir.

"Aku sudah mengirim pesan dan menelepon berkali-kali, Om. Tapi jangankan jawaban, ponselnya saja tidak aktif."

"Lagian, ya, kok, bisa-bisanya calonkan pengantin diizinkan berangkat sendirian." Tante Chintya mencibir lagi.

"Jangan-jangan Rendy kecelakaan."

"Ma .... " Aku menoleh ke arah mana dengan tatapan memohon supaya Mama tidak meneruskan ucapannya.

Aku sedang khawatir tapi Mama malah menakutiku dengan kata-kata seperti itu. Seharusnya seluruh keluargaku mendukung dan menguatkan aku. Bukan malah menjatuhkan mentalku.

Benci Jadi BucinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang