3. wajah suamiku

7 0 0
                                    

"Faldo, Om-nya Rendy. Dia yang sudah menikahi kamu. Mama harap kamu bisa terima, kelihatannya dia orang baik dan terlihat dewasa. Dia juga bersedia menerima kondisi kamu yang sudah berbadan dua," ucap Mama lembut sambil mengusap tanganku.

Faldo? OmDo yang sering Rendy bicarakan itu? Kata Rendy Om-nya itu gaje dan tidak asik. Suka ngatur dan sok tahu. Aku belum pernah bertemu dengannya tapi dari omongan Rendy aku bisa menyimpulkan kalau Om-nya itu menyebalkan. Lalu sekarang dia justru yang menjadi suamiku?

Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?

"Lala, jangan pingsan lagi, Sayang!"

Suara Mama terdengar panik sebelum semuanya menjadi gelap lagi.

_____________

Aku sadar dari pingsan untuk yang kedua kalinya. Mama berada di sampingku sambil menggenggam tanganku.

"Sayang?!"

Aku meliriknya sekilas, jujur saja aku merasa kecewa dengan Mama karena sudah menikahkan aku dengan Om-om tanpa persetujuanku dulu. Kalau tadi aku tahu Om-nya Rendy yang akan menikahi aku, tentu saja aku akan menolaknya. Toh aku tidak hamil beneran dan masih perawan.

Aku hanya mengelabui Rendy dan semuanya agar bisa menikah dan keluar dari rumah ini. Atau setidaknya jika harus tinggal di rumah Mama pun akan ada yang melindungiku.

"La, kamu tidak boleh bersedih lagi, ya. Justru kamu harus bersyukur karena mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari Rendy. Mulai sekarang lupakan Rendy dan fokus pada suamimu."

"Dari mana Mama tahu kalau laki-laki itu lebih baik dari Rendy? Lebih ancur mungkin." Aku mencibir.

"Mama ini sudah tua, pasti sekilas saja tahun karakter seseorang."

Aku hampir tertawa mendengar ucapan Mama. Bahkan Mama sendiri telah salah menilai suami barunya itu. Atau mungkin Om Dimas yang sangat pandai berakting? Sehingga di mata Mama dia terlihat seperti pria yang sempurna. Tapi di belakang, Om Dimas tidak lebih baik dari kumbang jalan yang hobby menghisap madu.

"Ayo Sayang, kita temuin Mamanya Rendy dulu. Maksud Mama keluarga suamimu, Faldo." Mama meraih tanganku, bermaksud mengajakku turun.

Aku baru sadar kalau di kamar ini hanya tinggal kami berdua. Tante Chintya dan anaknya entah kemana. Begitu pun dengan Ghea dan Mhita, mereka sudah tidak ada.

"Lala males, Ma," jawabku asal.

"Loh, enggak boleh seperti itu, Sayang. Meski tidak jadi menikah dengan Rendy, tapi Mamanya itu tetap menjaga keluarga suamimu."

"Suami, suami! Cukup, Ma! Aku enggak peduli. Pokoknya aku tidak mau bertemu siapa pun!"

"Sayang, Mama mohon. Mau ditaruh di mana muka Mama? Please ... ya .... "

Bersamaan dengan itu pintu kamarku terbuka lalu muncul sosok Om Drajat di sana.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, La. Om mohon, temui mereka sebentar, ya!"

Aku berpikir sejenak, kalau saja bukan Om Drajat yang meminta, sebenarnya aku tidak mau turun menemui Mamanya Rendy dan Om Do suamiku. Dih, suami! Aku mencebik di dalam hati.

______________

Tante Renita, Mamanya Rendy memelukku erat. Wanita itu meminta maaf sambil terisak. Namun air mataku seperti sudah habis ketika di kamar tadi hingga riasan wajah ini sudah tidak karuan bentuknya dan aku menolak ketika Mama hendak merapikannya.

"Maafkan Rendy, ya, La?"

"Jujur saja aku kecewa, Tante. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus sadar bahwa aku tidak bisa memaksa." Entah salah makan apa, kalimat itu begitu saja keluar dari bibirku. Padahal tadi ketika di kamar, aku merasa diriku sangat lemah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 03, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Benci Jadi BucinWhere stories live. Discover now