☔. kepingan masa lalu, ii.aksa

21 6 0
                                    

"Aksa pengen bicara empat mata sama ayah."

Atmosfer seketika menjadi hening. Aku langsung menyesali perkataan ku yang meluncur begitu saja dari mulut bodoh ku ini. Memangnya akan semudah itu ayah mau mendengarkan ku? Nyatanya tidak begitu, Ris. Aku menyesal, sungguh sangat menyesal.

Pergerakan tiba-tiba dari Ayah kembali membuatku tersentak. Tak terasa langkah kaki Ayah sudah mulai mendekat, hal itu membuat detak jantungku berpacu dua kali lipat daripada beberapa waktu yang lalu. Ah mampus, tamat sudah riwayatku.

Aku memejamkan mata rapat-rapat saat Ayah kini telah berada tepat di depanku. Namun seperkian detik berlalu, seketika aku dibuat melongo saat melihat Ayah hanya menatapku sekilas lantas berlalu masuk ke dalam. Antara lega atau tambah was-was, aku pun mulai mengikuti langkah beliau.

Ah, sudah kuduga. Ayah akan berhenti saat sampai di dapur. Mungkin beliau tidak ingin membangunkan adikku, Elsa yang sedang terlelap di dalam kamarnya. Asal kalian tahu, Ayahku itu sangat menyayangi adikku lebih dari apapun.

Apa? Kalian bertanya apakah aku iri atau tidak?

Tentu saja, iya :). Tapi itu dulu, sekarang aku tak terlalu memedulikannya. Biar saja terus seperti itu, toh aku masih ada Ibu yang memberi kami kasih sayang tanpa pilih-pilih.

"Ekhem!" Lamunanku seketika buyar saat ayah dengan sengaja berdehem.

"Jadi kamu mau ngomong apa sama Ayah?"

"..."

Disaat otakku sudah berkali-kali memberi perintah untuk segera menjawab, lidahku entah kenapa tiba-tiba terasa kelu. Seluruh kata-kata yang telah ku rangkai dengan apik tiba-tiba sirna begitu saja. Bahkan netra ku pun rasanya masih enggan untuk menatap tepat di netra milik Ayah.

"Aku lelah, yah..." Gumam ku dengan sangat pelan, kurasa suaraku pasti terdengar seperti cicit an seekor tikus ditelinga Ayah.

Tak kunjung mendapati respon, ku lirik sekilas sampingku untuk sekedar melihat apa yang sedang Ayah lakukan. Kulihat Ayah dengan santainya mengisi gelas ditangannya dengan air dari teko lantas meneguknya hingga tandas.

"Tadi kamu bilang apa? Ayah gak dengar."

Ku kepalkan tangan ku erat-erat, hanya ini upaya yang dapat kulakukan untuk menyemangati diriku sendiri.

Usai memantapkan hati, aku berdiri dari dudukku. "AYAH, AKSA CAPEK, YAH! AKSA GAK SUKA BELAJAR, AKSA LEBIH SUKA ICE SKATING. AKSA GAK MAU AYAH TERUS-TERUSAN BUANG-BUANG UANG DEMI LES IN AKSA KESANA-KEMARI, MENDING AKSA NGELAKUIN HAL YANG AKSA SUKA! BUKANNYA DULU AYAH JUGA ATLET ICE SKATING? HARUSNYA AYAH NGERTI GIMANA PERASAAN AKSA. AKSA UDAH BENER-BENER CAPEK YAH, TOLONG..." Teriakku dengan lantang hingga tanpa sadar lelehan air mata turut meluncur bebas di pipiku. Persetan jika adikku bisa saja terbangun, aku sudah tidak peduli.

Ayah nampak terkejut dengan teriakan ku yang dipenuhi rasa lara, setelahnya ia hanya terdiam. Mungkin beliau terkejut dengan perubahan drastis dari anak laki-laki pertamanya yang dulunya sangat penurut tiba-tiba menjadi pembangkang.

"Grekk..."

Bahuku seketika merosot ke bawah saat melihat Ayah pergi keatas begitu saja tanpa ingin mendengar lebih jauh segala unek-unek ku. Apakah yang kulakukan tadi benar? Apakah nantinya aku akan baik-baik saja? Sebenarnya dalam sudut pandang Ayah aku terlihat setidak berguna apa?

Setelahnya aku mengusak rambutku frutasi, 'Sialan!' gerutu ku dari dalam hati.



















shade umbrella [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora