『 4 』End

225 34 19
                                    

Gemintang kini diselimuti awan kelabu. Hujan di malam musim panas, membawa suasana dingin walau kala mentari bersinar tetaplah terasa membakar bumi. Gojo Satoru baru saja kembali dari perbincangannya dengan si rekan lama ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam.

Pertemuan yang awalnya ia pikir akan menguras emosinya, ternyata malah menguraikan runyam pikirannya. Geto Suguru, rekan lamanya yang baru menapakkan kaki di tanah kelahiran mereka ini benar-benar tahu cara memperbaiki susana hatinya.

Accura mewah kini kembali diparkirkan di depan gedung tempat dimana resital akan diadakan. Esok hari, adalah waktu yang tadinya akan menjadi resital ke sekian oleh si pianis jenius dan si pemetik harpa. Hal yang sempat Satoru lupakan andai saja Suguru tidak mengungkit tentang pertemuannya kemarin dengan si nona cantik yang menangis sendirian itu.

Tapi, apa sekarang? Karena egonya, seorang Gojo Satoru bertingkah kekanakan dan melarikan diri dari guratan takdir. Kaki yang dulu ia pakai untuk berlari pergi dari kenyataan, kini melangkah pelan menuju panggung pentas. Maniknya menatap sebuah harpa yang berada di tengah panggung sendirian. Pemandangan asing, dimana biasanya selalu ada piano mahoni yang mendampingi harpa keemasan tersebut.

Senyumnya getir. Siren cantik yang ia agungkan rupanya sudah memiliki jalannya sendiri. Otaknya lagi-lagi memutar balik kilas yang memburam, saat Siren itu masih sering gemetar ketika menapakkan kaki di bawah sorot lampu. Di mana sang pemetik masih sering menangis di belakang panggung. Juga ketika mereka selalu menggenggam tangan satu sama lain sembari tersenyum ke arah para penonton.

Ah, sejauh mana ia masih bisa menggali ingtannya? Satoru sedikit merasa takut. Ia tidak peduli jika tuhan mengambil penglihatannya. Tapi jangan ingatannya. Jangan memorinya. Jangan juga perasaannya.

Dengan mata terpejam, si pianis membeku di depan harpa yang berdiri sendiri dengan megahnya. Sekarang, tanpa dirinya, siapa yang akan menggenggam jemari si pemetik tiap kali ia merasa gugup? Siapa yang akan menghapus air mata itu ketika sang terkasih menangis di balik merah tirai resital? Juga, siapa yang diakhir resital nanti akan tersenyum bersamanya?

Ini salahnya. Sejak awal, andai perasaan ini tidak pernah ada di relung hatinya. Entah sebanyak apa lagi kenangan manis yang masih bisa mereka ukir berdua.

Persetan dengan cinta platonis. Andai dengan mencongkel keluar dua birunya bisa menghilangkan semua gundah ini, sudah dari dulu-dulu rongga matanya menjadi kosong.

Hanya gundahnya saja, bukan cintanya.

Lagi-lagi, suara dentingan menyapa gendang telinganya. Biarlah, untuk apa lagi air mata ini ia tahan? Tidak ada satupun orang di sini, bukan?

Sakitnya bukan main. Dadanya sesak, matanya memanas, perih. Satoru mulai mengosongkan pikirannya. Ia hanya takut andai kata ia terpikir sesuatu yang kini sudah ia lupakan.

Entah sejak kapan Satoru menjadi lemah seperti ini. Hanya dengan membayangkan sosok [Y/n] bisa membuat air mata sialan ini mengalir deras. Membuat hatinya tercabik. Sakit, sakit sekali.

Sekali saja, Satoru ingin mendengar suara sang pujaan hati. Setidaknya untuk terakhir kalinya, sebelum gema indah itu lenyap dari piringan hitam yang berputar di dalam otaknya.

Satoru ingin melihat sosok cantik itu sekali lagi. Memahat indah paras jelitanya, mengingat binar indah maniknya. Semuanya, ia ingin melihatnya kembali sebelum Tuhan juga menghapus semua itu dari ingatannya. Sebelum tuhan merenggut kuasanya untuk menatap luasnya dunia.

Sekali lagi....

Sekali saja....

✧ ✧ ✧ ✧ ✧

Lyra: A Whole Sky Inside Your Eyes [Gojo Satoru X Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang