Cerita ini sudah TAMAT ya di Karyakarsa, jadi buat kalian yang mau baca silakan kesana. Link ada di bio.
Selamat Membaca
Tok... Tok... Tok!
"Kak! Bangun Kak!" Suara teriakan dari luar pintu kamar tidur aku dengar. Mengerjabkan pandangan aku menatap jam dinding yang tepat aku pasang berhadapan dengan ranjang, jam empat pagi.
Masih terlalu pagi untuk membangunkan diriku di hari minggu.
Kusibak selimut dan berjalan menuju pintu. Melihat wanita paruh baya yang tengah menatapku dengan wajah sembabnya, "Ada apa Bu?"
"Naura ... Kak ... Naura jatuh pingsan. Ayo bantu Bapak membawa Naura ke rumah sakit." Tubuhku membeku dengan pikiran yang tidak-tidak.
Naura pingsan? Perasaan tadi malam masih baik-baik saja, bahkan saat makan malam bersama wajahnya masih bisa tersenyum. Kenapa ini begitu tiba-tiba.
"Ayo Kak! Kenapa bengong." Aku yang baru tersadar langsung mengambil jaket dan tas yang biasa aku bawa pergi. Langkah kaki kami tertuju ke kamar tidur Naura, dimana Bapak sudah ada disana.
"Ayo Pak, Dara bantu." Dengan susah payah aku dan Bapak membawa tubuh Naura menuju mobil yang sudah terbuka pintunya. Meletakkan tubuh Naura di jok belakang, dan melenggang menuju kursi pengemudi. "Dara saja yang nyetir, Pak. Pikiran Bapak pasti kalut. Bapak duduk disamping saja."
Seolah paham atas apa yang kutakutkan, Bapak memilih untuk duduk di samping sisi kemudi menemaniku di depan sedangkan Ibu di belakang. "Ya Tuhan, tolong jaga Naura."
"Hiks ... Sebenarnya ada apa, nak? Kenapa penyakit kamu kambuh lagi?"
Dan dilanjutkan dengan suara isakan yang memenuhi perjalanan kami, sedikit banyak aku tahu akan sebesar apa kasih sayang Ibu terhadap Naura. Mencuri pandang dari kaca spion depan aku mampu melihat jelas dari sorot matanya yang begitu terluka. Sedangkan Bapak hanya diam dengan pandangan ke luar jendela. Sedangkan diriku dituntut untuk tenang meskipun rasa khawatir itu ada.
Tak berselang lama mobil yang kukemudikan sampai di rumah sakit, dengan sigap aku memanggil tenaga medis untuk membantu menangani Naura. Hingga akhirnya Naura dibawa ke ruang IGD.
Aku berdiri di sisi kursi panjang rumah sakit dengan Bapak dan Ibu disana. Pandangan Ibu begitu terpukul akan kondisi Naura sedangkan Bapak mencoba menenangkannya.
"Apa salah Ibu Pak, kenapa penyakit Naura kambuh lagi." Ucap Ibu disampingku.
"Ibu tidak salah. Semua sudah takdir."
"Sekarang jangan banyak pikiran Bu, kita tunggu kabar dari dokter saja." Ucap Bapak dengan nada lembutnya. Aku tahu bahwa Bapak juga khawatir tetapi ia sebisa mungkin menampilkan perangai yang tabah.
Suara dering ponsel kudengar, membuka tas aku mendapati panggilan masuk dari Wira. Aku berjalan menjauh untuk menerimanya.
"Ya, hallo."
"Kamu dimana?"
"Di rumah sakit sekarang, nunggu kondisi Naura."
"Oke, tunggu aku disana jangan pulang dulu."
"Nggak usah, aku nggak mau ganggu waktu kamu dengan keluarga." Yang aku tahu Wira akan mengajak kedua orangtuanya jalan-jalan sebelum mengantarkannya pulang.
"Nanti aku bisa jelasin. Sudah tunggu aku disana."
Menolakpun, Wira tidak akan menurut. Jadi kuputuskan untuk mengiyakan ucapannya. Mematikan ponsel aku berjalan menuju ruang UGD dimana seorang dokter sedang menjelaskan kondisi Naura.
"Pasien butuh waktu untuk istirahat, dan sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang perawatan. Mengenai kondisinya lebih baik Bapak ikut saya ke ruangan." Jelas dokter itu dengan langkah kecil meninggalkan kami. Bapak menoleh menatap Ibu. "Bapak ke dalam dulu, jaga Naura."
Yang aku harapkan semoga kondisi Naura baik-baik saja.
Ranjang Naura keluar dari ruang UGD menuju ruang perawatan. "Kami akan memindahkan pasien menuju ruang perawatan. Mengenai mekanisme pembayaran lebih baik diselesaikan terlebih dahulu."
"Baik Sus."
"Ibu ikut Naura saja. Biar Dara yang urus administrasi."
Melangkah keluar aku menuju ruang administrasi guna melunasi pembiayaan.
***
"Kamu baik-baik aja, kan?" Ucap Wira saat kami berdua ada di kantin. Aku menatap wajahnya dan mengangguk.
"Terima kasih, ya, kamu mau kemari." Tangan Wira terulur mengusap puncak kepalaku dengan senyuman tipis menghias wajahnya. "Semua buat kamu."
"Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, jujur ini serba mendadak."
"Padahal kondisi Naura baik-baik saja tadinya." Lanjutku dengan menyesap minuman hangat yang dipesan Wira. "Semua akan baik-baik saja. Percaya sama aku."
Menghela napas panjang, aku menatap ke depan membayangkan masa kecil kami. Bukan kenangan yang indah tetapi lebih ke peristiwa yang selalu membuat diriku takut akan kehilangan Naura.
"Aku sayang Naura. Takut dia kenapa-napa meskipun kami tidak terlalu dekat."
Kepala Wira mengangguk.
"Kamu Kakaknya wajar jika khawatir akan hal itu. Dulu aku sangat menyayangi adikku, tapi saat diusia delapan tahun Tuhan mengambilnya. Rasanya campur aduk, sedih, kecewa, hampa semuanya ada. Sedih karena belum menjadi Kakak yang baik, kecewa kenapa harus dia, tapi seiring perjalanan waktu aku sadar bahwa itu yang terbaik untuk kita."
"Apa itu yang akan terjadi kepadaku?"
Tangan Wira merangkum kedua tanganku yang berada di atas meja. "Tidak, jangan pikirkan hal itu. Sekarang yang bisa kita lakukan hanya berdoa semoga kondisi Naura membaik. Dan berhenti berpikir negatif."
Tak terasa air mataku keluar, membayangkan jika Naura pergi selamanya dari hidupku. "Don't cry, honney. Trust me."
"Aku akan menemanimu, menguatkanmu, menjadi sandaranmu."
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka itu Aku ✔ (Karyakarsa & KBM)
RomanceSemuanya kuberikan, tapi jangan cinta. Karena cintaku sudah lama mati. Andara Winasti