Pertemuan Kala Hujan

9 0 0
                                    

Sial, Arya berpikir. Tentu saja ini harus menjadi satu-satunya hari dia tidak membawa payung.

Rintik hujan mulai membasahi rambutnya dengan perlahan, membuat ikalnya yang awalnya sudah berantakan semakin tidak enak untuk dilihat. Sebuah genangan air kecil mulai terbentuk di sekitar sepatunya, mengancam akan membiarkan kakinya basah kuyup. Itu seharusnya sudah cukup untuk menjadi sebuah peringatan baginya untuk kembali ke dalam sekolah dan menunggu di sebuah ruang kelas sampai hujannya berhenti. Tetapi Arya hanya berdiri di sana, melihat tetesan air hujan jatuh ke tanah.

Arya hanya ingin pulang.

Dia melihat sekelilingnya. Lorong sekolah hampir kosong pada saat ini, sangat kontras dibandingkan dengan pada saat pagi hari ketika dipadati oleh siswa. Dia menghela nafas dengan lega, mengetahui tidak ada yang memperhatikannya terlihat seperti karakter melankolis dari setiap drama Korea yang pernah ada.

Setidaknya itu yang dia pikir sampai dia mendengar langkah kaki. Dalam sekejap, Arya berubah dari berperan sebagai karakter dalam sebuah drama Korea yang emosional menjadi film horor yang menegangkan. Dia mundur selangkah, matanya melebar dalam ketakutan sambil memindai tempat di sekitarnya.

Di sudut matanya, dia melihat sebuah sosok dengan rambut panjang dengan perlahan mendekatinya. Kepanikan melonjak ke seluruh tubuhnya, respons melawan atau larinya segera muncul. Dia mencoba untuk berlari, kata kuncinya: mencoba. Kakinya langsung mengkhianatinya saat dia jatuh dengan wajah terlebih dahulu ke tanah. Arya menyalahkannya pada ketidakaktifannya selama kelas PJOK.

Arya menggeliat dalam kesakitan, tetapi yang lebih dia takutkan adalah sentuhan yang dia tiba-tiba rasakan di bahunya. Sebelum Arya bisa meminta maaf dan mencoba untuk meyakinkan hantu tersebut bahwa dia 'suci dan dosanya tidak banyak', sosok itu berbicara: "Woi! Lo ngapain sih di tengah hujan gini? Kayak baru diputusin aja lo, gak usah dramatis deh."

"Hah." Arya bingung. Dia seharusnya sudah diancam untuk dibawa ke dunia bawah sekarang.

"Jangan hah-in gue lah, gue yang seharusnya bingung."  Sosok itu membantu Arya berdiri kembali sambil menyapu kotoran dan tanah yang menempel di lengan Arya. Akhirnya dia melihat sosok itu dengan jelas, dia mengenal rambut panjang hitam dan bando putih itu di mana saja.

"Vania?" Dia bertanya dengan sebodohnya, Arya tahu jelas itu Vania – siswi kelas sebelah dan mantan wakil ketua OSIS. Arya dan Vania sebenarnya tidak pernah mengobrol bersama, meskipun mereka telah bersekolah di sekolah yang sama sejak SD. Keberadaan mereka untuk satu sama lain hanyalah sebatas 'Oh, dia? Iya, gue tau.'

"Arya, kan ya?" Vania bertanya. Arya mengangguk, masih berusaha mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. "Eh kita mendingan jangan ngobrol di sini deh," Vania memberitahu Arya sambil meraih tangannya, mereka dengan hati-hati berlari kembali ke dalam sekolah.

Ketika mereka sampai di dalam, Vania melepaskan tangan Arya. Arya mengerutkan kening, bukannya dia suka bergandengan tangan dengan Vania (atau siapa pun dalam hal ini), tapi dia benar-benar membutuhkan kehangatan di tengah hujan yang dingin ini. Vania nyengir dan tertawa terbahak - bahak. "Aduh, itu lo ngakak banget asli! Dramatis banget sumpah," Vania ujar di tengah tawanya yang keras.

Ini kebalikan dari kehangatan yang dibutuhkan Arya.

"Iya, haha, lucu banget," Arya dengan sinis berkata. Vania pasti menyadari nada suaranya, dia langsung berhenti ketawa. Jelas dia belum cukup tertawanya karena dia masih berusaha menyembunyikan seringainya. Nih orang ya, bener-bener, mau ngeselin gue doang tujuannya, mata Arya berkedut memikirkannya.

"Lo emang tadi lagi ngapain? Gak bakal gue ketawain sekarang, janji."

Arya menghela nafas, dia tahu dia tidak punya pilihan lain selain mengobrol dengannya. "Gue tadi mau pulang, tapi gue, sebodoh-bodohnya, itu gak bawa payung. Tau gak sih, Van? Padahal gue tiap hari itu selalu cek aplikasi Weather, biar gue tau hari ini tuh bakal hujan atau gak. Pasti aja deh, satu-satu harinya dimana gue lupa cek, itu hari yang bakal hujan dan gue gak bawa payung."

Vania menertawakannya. Arya ingin pergi dari sini.

"Lo ngapain cek aplikasi Weather tiap hari? Aneh bet lu, siapa sih yang suka gituan."

"Van, bener-bener ya lo! Gue udah cerita panjang lebar, dan itu yang lo tanya?! Lo emang mau bikin gue kesel atau lo emang biasanya ngeselin kayak gini sih."

Vania tiba-tiba merogoh tasnya, terlihat seperti sedang mencari sesuatu. "Nih," dia katakan sambil mengeluarkan sebuah payung dari tasnya. "Biar lo bisa pulang terus relax. Gak usah marah-marah terus, tau gak sih muka lo kayak landak kalo lagi marah?"

Arya tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, dia baru saja dibilang dia tampak seperti landak. Dia kira mukanya lebih mirip seperti katak seperti yang biasa dikatakan oleh ibunya, tapi itu tidak penting sekarang. Di sisi lain, dia baru saja diberikan payung dari Vania agar dia bisa pulang, meskipun dari tadi dia hanya kesal terhadap Vania.

"Terus lo gimana pulangnya?" Arya bertanya alih-alih mengucapkan terima kasih, masih tidak yakin bagaimana dia harus memproses ini.

"Dah, gak usah khawatirin gue, gue nanti dijemput pake mobil kok. Gue juga ada jas hujan kalo memang butuh," Vania mengucapkan dan memberikan senyuman hangat yang menenangkan.

Arya merasakan segalanya tapi tenang sekarang. Dia hanya ingin pulang secepatnya.

"Yaudah, makasih Van."

Hari Ini, Esok, SelamanyaWhere stories live. Discover now