8

894 178 10
                                    

Televisi menyala tanpa suara. Digantikan oleh rinai hujan yang turun menyisakan embun pada kaca. Menambah kenyamanan seseorang yang sedang mendengkur halus di atas sofa. Lengan di bawah kepala sebagai bantal, kaki ditekuk sedemikian rupa. Meringkuk seperti janin dalam kandungan ibunya.

Niatnya datang ke tempat ini, semula untuk menjenguk sang ayah saja. Ia berniat langsung pulang, setelah memastikan keadaan ayahnya membaik setelah melewati masa observasi selama tiga hari. Tapi, ia tidak jadi pulang setelah tahu kalau adiknya akan datang malam nanti karena ada persiapan pengajuan judul skripsi. Dira tidak tega meninggalkan sang ayah seorang diri.

Tepat saat Dira membuka mata, seseorang membuka pintu kamar tempat ayah Dira dirawat itu. Wajah tampan Adam muncul dari balik pintu, dengan senyum merekah meski ia terlihat lelah.

"Gimana, lancar?" tanya Dira.

"Tinggal pengajuan judul aja kak, minggu depan. Aku sudah daftar, tadi," jawab Adam seraya bergabung duduk di sofa, di sebelah Dira.

Dira tersenyum, lalu mengacak pelan rambut sang adik. "Harusnya kamu bilang ke Kakak, kalau kamu memang capek. Jadi, malam ini kakak aja yang jagain ayah."

"Nggak capek kak. Biasa aja. Nggak mungkin juga aku biarin kakak tidur di sini." Adam memunjuk sofa yang mereka duduki, dengan gerakan kepalanya.

"Dam, kamu tau kakakmu ini bisa tidur di mana aja," sahut Dira.

Adam terkekeh. "Iya sih, tadi aja kakak ketiduran kan?"

Dira mengangguk saja seraya mengulas senyum. Ia kemudian beranjak dari duduknya, sambil membawa tasnya ia menghampiri sang ayah yang fokus dengan televisi tak bersuara yang terpasang di dinding depan brankar. "Dira pulang dulu, Yah!"

Teguh, ayah Dira itu menggumam saja. Sebelah lengannya sudah berada di atas kepala, sebelah lengannya lagi sudah bertugas menutup kedua matanya. Sejak pernikahannya kandas dengan sang istri, dilanjutkan istrinya menikah lagi, ia memang menyalahkan Dira yang dinilai memihak ibunya selama ini. Dira melanjutkan langkahnya meninggalkan ruangan setelah mendapat rangkulan hangat dari sang adik, di pundaknya.

"Harusnya, kita ya yang marah sama Ayah dan Bunda," kata Adam begitu mereka keluar dari ruangan berkapasitas tiga orang pasien itu.

"Kenapa harus marah?" tanya Dira menoleh pada adiknya.

Adam melepaskan rangkulan tangannya pada pundak sang kakak. "Iya, karena perceraian Ayah dan Bunda, sudah buat keluarga kita jadi seperti ini. Bukannya merasa bersalah dan introspeksi diri, Ayah malah marah sama kakak."

"Menurut Kakak kita nggak punya hak untuk marah, Dam. Kita memang orang terdekat mereka, bertemu mereka hampir 24 jam dalam sehari, tapi tetap saja kita tidak bisa mengukur hati mereka. Mereka yang merasakan, mereka yang tahu apa yang terbaik untuk mereka."

"Apapun itu, meski jalannya harus dengan perceraian. Asalkan mereka bahagia, kenapa nggak?" Dira melanjutkan.

Adam menganggukkan kepala menyetujui pendapat kakaknya.

"Ayah dan bunda cuma bercerai. Kasih sayang mereka tetap ada untuk kita, hanya beda bentuknya dari saat dulu mereka masih sama-sama."

Dira mengakhiri mengutarakan pendapatnya setelah mereka sudah mencapai lobby depan. Adam sudah pamit untuk kembali ke kamar ayah. Dira sendiri mulai mengambil ponselnya dari dalam tas. Jarinya bergerak lincah di atas layar ponselnya, membuka aplikasi ojek daring dan mulai memesan.

Dira langsung mendapat penolakan dari driver di pesanannya. Yang kedua juga, driver tidak bersedia mengantar dan membatalkan begitu saja. Lalu, ketiga dan keempat, berakhir sama. Dira melihat ke arah langit memeriksa hujan yang tidak ada tanda-tanda untuk mereda. Dira menatap ponselnya dengan putus asa, pantas saja ojek daring sejak tadi terus menolak untuk menerima pesanannya.

My Dear Loser ✔ (TERBIT CETAK & EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang