Bagian Satu

5.8K 631 161
                                    

•••

T A N A H  P I R A U

•••

Patih

Sebelum ketar-ketir oleh pesan yang dikirimkan Deva, gue tadinya lagi kesenengan karena ngebayangin kalau nanti malem gue akan ketemu sama Cahaya. Sekarang adalah bulan ke delapan di tahun 2022. Dan rencananya, pada bulan sebelas nanti, gue dan Lettu Cahaya Syahda akan melangsungkan pernikahan.

Baru rencana, karena lagi-lagi, pernikahan gue dan dirinya harus selalu mengulur tanggal akibat tugas yang gak kira-kira. Gue baru saja pulang ke Jakarta setelah tiga bulan mengumpulkan informasi di Surabaya. Seperti biasa, hilang tanpa jejak dan kabar namun sebisa mungkin gue selalu berpamitan kepada dirinya. Meski bukan rekan satu tim lagi— dan kurang pantas rasanya untuk membocorkan tugas kepada orang lain sekalipun mereka bagian dari intelijen juga, gue gak pernah ilang kayak orang tiba-tiba mati karena takut kalau Cahaya diembat atasannya yang udah perwira menengah.

Iya, sebucin itu gue sama dia. Mati aja deh lo, Tih.

"Dev, gue deg-degan banget karena tiba-tiba dipanggil ke Istana lagi." Untuk tamu yang tak memiliki janji tertulis di jadwal presiden seperti gue, harus ada yang menjemput ke gerbang depan supaya mendapatkan akses masuk ke dalam. Keamanan Istana Kepresidenan sangat ketat, lo mau ngaku Vladimir Putin dan nunjukin identitas lengkap dan asli pun gak bakalan diizinkan masuk jika tak ada janji temu resmi.

Laki-laki yang ternyata pernah terjerat kisah cinta suram dengan salah satu antek-antek Harsadi Pangestu itu terkekeh, "Lo diminta pertanggungjawaban kayaknya." Nah, kan, sialan si Deva. Emang gue abis ngapain? Bikin takut aja.

"Ibu Negara melahirkan kan salah dia, kenapa jadi gue yang tanggung jawab?" Untungnya, Deva cenderung humoris sehingga guyonan tersebut hanya ia tertawakan tanpa diperkarakan. Dua tahun setelah Krisan Putih dibubarkan, baru hari ini gue menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Masih di ruangan yang sama, sebuah ruang rapat yang tidak terlalu besar maupun kecil yang letaknya di ujung lorong koridor Istana Negara.

Gue seperti mengalami dejavu. Bedanya, hari ini gue sendirian tanpa lima orang lainnya. Jajaran pembantu presiden seperti menteri pertahanan hingga si paling irelevan— Pak Parka, Ketua Umum Partai Demokrasi yang selalu menjadi si pembawa informasi awal hadir di tempat ini. Rasa-rasanya, gue sudah bisa menebak apa tujuan diundangnya Patih Adiwarna ke hadapan mereka semua.

Tapi, kali ini soal apa? Seingat gue, negara sedang aman-amannya karena selalu panen hama merugikan.

"Gimana Cahaya? Kalian jadi kan?" Senyum menggoda di wajah Pak Nas menjadi sapaan pertama yang gue dapatkan. Pak Dirga ikut tersenyum seraya mengolok-olok gue dengan kata 'Cie' yang terdengar menyebalkan.

"Gak penting banget pertanyaan lo, jadi lah! Sampe disusulin ke Estonia gitu." Kok Pak Parka tau, ya? "Duduk, Tih. Hahaha, gila, akrab banget saya kesannya. Manggil tanpa sebutan pangkat."

Sesuai izin mereka, gue duduk di salah satu kursi yang kosong. Deva duduk di samping gue, dengan sebuah laptop yang baru saja menyala. Gue sempat dianggurkan selama beberapa saat, sebelum akhirnya dehaman Pak Dirga mengheningkan suasana sekaligus memusatkan seluruh perhatian hanya kepada dirinya.

"Saya tidak berharap kalau ini akan jadi dedikasi terakhir saya terhadap negara," tiap kali suaranya terdengar, entah kenapa gue selalu dibuat merinding tanpa sebab. Bukan karena takut, melainkan kagum dan salut.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TANAH PIRAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang