8.Gede Rasa

165 35 15
                                    


Telepon dari Arkan tentang sakitnya hingga meminta dibelikan obat, membuat Nina semakin menerka makna sikap pemuda itu terhadapnya. Ia yakin, Arkan memiliki banyak teman. Apalagi Rusdi dan Ridho juga tetap tinggal di rusunawa. Kenapa harus dirinya yang dihubungi?

"Yang aku paham, ya, Nin. Sekali lagi, nih. Aktivis dakwah itu selalu punya batasan dengan lawan jenis. Bukan hanya dalam interaksi fisik. Bahkan, saat rapat pun, selalu dipisah. Ada tirai yang menjadi penghalang untuk saling pandang-pandangan antara laki-laki dan perempuan. Eh, kalian berdua malah tanpa batasan," ungkap Megan saat Nina sudah bersiap kembali ke rusunawa.

"Jangan bikin aku ke-GR-an, Meg," cetus Nina seraya tergelak. "Positive thinking aja, deh. Anak-anak pada sibuk."

Megan menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan dengan pelan. "Waspada aja pesenku. Ingat, nggak boleh kambuh penyakitmu."

Nina mencebik kesal. Ia lalu manggut-manggut sambil tersenyum ke arah Megan. "Oke, oke, ibu psikolog."

Nina segera meninggalkan indekos yang sudah ditempati hampir empat tahun itu. Sebelum menuju rusunawa, dirinya mampir dulu ke apotek, lalu membeli bubur ayam. Pembelian makanan itu adalah inisiatifnya sendiri. Pikirnya, di sana pasti tidak ada makanan.

"Assalammualaikum," ucap Nina dengan nada yang cukup keras saat sudah sampai di rusunawa. Suaranya menggema karena di dalam gedung berlantai empat dengan bentuk bangunan menyerupai huruf U itu sedang  sepi tidak ada aktivitas yang terjadi.

Jawaban salam terdengar dari dalam kantor. Nina pun melangkah masuk. Hanya ada Rusdi dan Ridho.

"Kok, udah balik?" tanya Ridho heran. Ia paham jika Nina di awal ingin resign. Saat mendapat jatah libur kerja, tentu akan dimaksimalkan. Namun, belum juga liburan berakhir sudah kembali saja.

Nina tersenyum canggung. Ia tidak mungkin memberitahukan yang sebenarnya.

"Bosen aja di kos. Kangen sama kasurku di sini," jelas Nina dengan asal.

Ridho manggut-manggut. "Oh, gitu."

Sementara itu, Rusdi yang duduk di atas karpet tampak senyum-senyum mendengar alasan Nina. Pemuda yang menggemari lagu-lagu Bollywood tersebut seolah paham penyebab Nina kembali ke rusunawa dengan cepat. Apalagi saat melihat isi kantong plastik bening yang dibawa gadis dengan kemeja di bawah pinggang tersebut. Bubur Ayam Abah Odil.

"Nina."

Panggilan dari arah belakang, membuat Nina menoleh. Terlihat Arkan dengan wajah yang kusut berjalan menuju meja depan kantor. Tanpa bersuara, ia meminta Nina duduk di sampingnya.

Nina pun mengangguk, lalu melangkah menuju kursi yang berada di ujung dekat dinding. Arkan berada di sisi seberang. Mereka terpisah satu kursi kosong. Nina segera menyerahkan obat dan makanan yang dibelinya.

"Wah, tau aja aku belum sarapan, Nin. Makasih, ya."

"Sama-sama, Mas," sahut Nina sambil tersenyum.

Arkan mulai menikmati olahan beras dengan tekstur lembut dan cita rasa yang gurih tersebut. Ia melahapnya dengan penuh semangat.

"Wih, makan bubur. Kapan belinya, Bang?" Ridho tiba-tiba muncul.

"Dibawain Nina," jawab Arkan yang baru selesai mengunyah.

"Punyaku mana, Nin?" tanya Ridho.

Nina terkesiap. Ia hanya membeli bubur satu saja. Gadis itu pun menggelengkan kepalanya.

Ridho mengangkat satu sudut bibirnya. Ia kecewa tidak dibelikan oleh teman satu jurusannya tersebut. Pemuda itu pun dengan wajah manyun berjalan cepat menuju ke lantai dua.

BAPER! (READY STOCKS)Where stories live. Discover now