9•ragu

125 7 0
                                    

"Apa kau tau, Ndan? memiliki Almeera itu tidak mudah. Dan aku bersaksi akan hal itu, banyak lelaki yang mendekati Almeera. Bahkan aku sendiri yang membantu mereka, tapi nihil, Almeera menolak  laki-laki yang sudah aku kenalkan. Dia hanya butuh di yakinkan, bukan tidak percaya, itu karena dia berhati-hati agar luka lama tidak terulang lagi."

"Luka itu, luka yang tidak pernah sirna dari hidupnya, di bohongi, di asingkan, tidak di perdulikan, sepi, sendirian, semua itu adalah hal yang tidak akan pernah kau lihat, namun hal itu memang nyata adanya. Pria yang tidak bertanggung jawab untuk luka yang membekas seumur hidup Almeera, dia justru pergi tanpa meninggalkan rekam jejak. Hati-hati, Ndan. Sebab hatinya begitu banyak sekali goresan luka, dan aku tidak akan pernah bosan mengingatkan itu. Dan satu hal yang perlu kau tau, aku tidak akan tinggal diam jika kau berani menyakitinya"

Juna menatap Adnan, dari raut wajahnya berbeda dari biasanya. Adnan begitu serius dengan pernyataannya.

Ucapan Adnan menyadarkan Juna, kalau Almeera hanya gadis periang yang butuh di pahami. Egonya tidak perlu di balas dengan ego juga, sebab kalau ia membalasnya dengan ego, maka semuanya akan sia-sia.

"Lelaki itu, siapa?"

"Ada dua, kau ingin dengar yang mana?"

"Terserah"

Juna. Laki-laki pengecut, ia selalu menggantungkan kalimat tanya di sana. Pilihannya ada dua, namun ia memilih untuk menjawab terserah. Itu bukan jawaban, itu adalah kalimat pengalihan

"Ayahnya"- ucap Adnan, sebelum Juna bertanya kenapa. Adnan sudah lebih dulu menjelaskannya

Seseorang yang aku kenal. Kata orang "bukankah seorang anak harus menyayangi ayahnya?"
Tetapi aku tidak. Dulu, dia seperti malaikat, tapi sekarang bukan.
Sekarang seperti bajingan, tetapi dulu tidak.
Dan aku lebih memilih untuk membencinya.
Dia pengecut, ayah sudah lari terlalu jauh meninggalkan banyak masalah di sini.
Ayah menetap, tapi di rumah yang lain, bersama dengan wanita lain, meninggalkan rumahnya sendiri, meninggalkan anak-anaknya sendiri, jauh, di tengah laut, sendiri.

Tapi, bukankah seorang anak berhak marah? bukankah seorang ayah berkewajiban untuk meredamkan amarah anaknya, apalagi amarah itu di sebabkan oleh dirinya sendiri.
Pengecut, ia tau dimana rumahnya, tetapi tidak ingin menemui jalan pulang.
bunda bilang ayah mungkin menyesal.
Tapi jika ayah menyesal, bukankah seharusnya ia datang? meminta maaf lalu pergi meninggalkan wanita itu?
sama seperti ikan mahal, bagaimana ayah bisa tau akan ada ikan lain yang ada di sampingnya kalau ia tidak melepas ikan yang menangkap umpannya.

Tapi, dia seperti bukan ayah, ia hanya laki-laki yang pernah tuhan kirim kan untuk menemani masa kecilku.
Yang ayah lihat hanya wanita cantik, seperti lampu kota, tanpa menggubris keberadaan bunda yang sama seperti bulan. Selalu ada, tidak pernah meninggalkan. Bulan tau porsi, ia pergi atas ketetapan tuhan.

Almeera menaruh pena di atas meja, kemudian membakar rokok menggunakan alat pematik. Ia hampir lupa kalau rokok mampu membakar masalahnya, ya walaupun cuma sedikit.

Tidak suka Juna, tidak suka Juna, tidak suka Juna. Aku menyangkal, terus menyangkal, dimana pikiran dan hati selalu beradu, bulan bertubulensi di atas sana. Sepertinya ia ingin tau siapa yang menang. Antara hati dan logika, yang pasti mengiramu mencintaiku adalah ketidakmungkinan yang tidak ingin aku benarkan

Kamu akan benci, jika tau siapa Almeera sebenarnya. Gadis membangkang, egois, keras kepala. Tidak perduli mana benar atau salah, yang penting ego saja dulu di besarkan, setelah itu sedih, menangis, lalu meminta maaf pada diri sendiri. Tubuh ini juga mungkin sudah bosan, melihat goresan luka yang ia sebabkan atas kelalaiannya sendiri

Rahasia Juna (Antara Aku Dan Negara)Where stories live. Discover now