4. Gangguan

6K 441 56
                                    

.

.

.

Naruto dan Hinata berjalan saling bergandengan tangan menyusuri jalan menuju salah satu tempat makan terbaik di Konoha. Tenang, itu bukan Ichiraku Ramen, meski iya memang itu kedai ramen terbaik, tapi Naruto sudah bosan jika terus-terusan berkencan di sana. Jadi hari ini, di hari libur mereka berdua yang sangat langka, Naruto memesan tempat di restoran steik terbaik yang akhir-akhir ini sedang tren menjadi tempat kencan dan lamaran.

Tentu saja Naruto bukan berniat untuk melamar. Untuk melamar Hinata, Naruto tak perlu susah-susah memesan restoran mahal, di mana saja dan kapan saja bisa ia jadikan tempat dan waktu melamar, yang masalah dalam hal lamar-melamar kekasihnya ini memang hanya karena restu Hiashi.

Hinata dan Naruto duduk di tempat yang sudah disiapkan, restoran ini bergaya modern dengan berbagai lampu dan alunan musik lembut yang mengiringi sejak mereka memasuki ruangan. Semuanya terlihat mewah dan mahal, juga terkesan hangat dan eksklusif, pantas jika banyak pasangan yang memesan tempat ini sebagai tempat untuk membuat kenangan terbaik di perjalanan kasih mereka.

Hinata tersenyum lembut, menatap Naruto di hadapannya.

"Aku tidak tahu Naruto-kun mengajakku ke tempat seperti ini. Ternyata Naruto-kun tahu trend."

Naruto mendengus. "Hinata, kau meremehkanku?" ucapnya tak percaya.

Hinata tertawa. Naruto yang pura-pura ngambek sangat menggemaskan baginya.

Selain tempatnya yang sangat mewah makanannya juga enak. Naruto yang selalu mendewakan Ichiraku Ramen bahkan mengakui jika ini adalah makanan terbaiknya selama hidup bersanding dengan semua masakan buatan Hinata. Pantas harganya sangat mahal. Untuk Shinobi biasa pasti perlu menabung beberapa kali gajian agar bisa makan di tempat ini.

"Pasti akan sangat berkesan jika aku memberi kejutan dengan melamarmu di tempat seperti ini, kau menerimanya, lalu ayahmu juga dan kemudian kita merencanakan acara pernikahan." keluh Naruto, berandai-andai jika semua itu bisa terjadi sesegera mungkin.

Hinata menggengam jemari Naruto, mengelusnya. "Otou-sama pasti akan segera merestui kita, kita harus bersabar ya..."

Senyum teduh Hinata menenangkan Naruto. Mengangguk mantap, Naruto membalas genggaman tangan Hinata. "Mungkin ini juga sebagai hukumanku karena dulu tak menyadari perasaanmu."

"Karena dulu kau begitu sabar, maka aku juga akan melakukannya. Tapi, jangan salahkan aku jika nanti kau ku culik jika Hiashi-san terlalu lama memberi restunya."

Hinata hanya menggeleng gemas. Naruto selalu mengatakannya, tapi tak pernah benar-benar melakukannya, bukan karena takut tapi karena dia begitu menghormati Hiashi.

Kehangatan mereka sedikit terganggu oleh tatapan orang-orang yang mencuri-curi pandang. Hinata menghela napas, sedikit tak nyaman. Meski telah berada di tempat makan yang mahal sekalipun, keberadaan mereka tetap menjadi perhatian. Beberapa orang sebenarnya sudah mencuri-curi pandang ke arah dirinya, terlebih ke arah Naruto sejak pertama kali memasuki ruangan. Hinata sudah biasa. Sejak perang berakhir Naruto memang selalu menjadi pusat perhatian, dan hal itu masih berlangsung hingga saat ini. Jadi dimanapun Hinata dan Naruto pergi, pasti tak akan lepas dari tatapan banyak orang.

Naruto layaknya selebriti, Hinata bisa apa selain memaklumi. Cemburu? Tidak. Hinata tidak pernah cemburu, Naruto sepenuhnya milik dirinya. Pun dengan hati pemuda itu, Hinata tak pernah meragukannya. Hinata hanya kesal karena orang-orang kadang melupakan soal yang namanya privasi.

"Naruto-san, apa aku boleh meminta foto?" Salah satu pelayan di tempat makan ini menghampiri sambil membawa kamera saku, sebuah teknologi baru yang akhir-akhir ini juga sedang digandrungi.

Naruto 'BUCIN' Uzumaki ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora