Bagian 7: Abang?

168 33 0
                                    

Lembayung merah muda sudah tampak di langit, mereka memutuskan untuk kembali pulang, selain sudah lelah, Steve juga ada mata kuliah malam. Saat diperjalanan, Terry dan juga Ben berada di belakang, lalu Ben membuka suaranya.

“Gimana? Enak ikan terinya?” Terry menoleh ke arah Ben, lalu tersenyum sambil mengangguk. 

“Mantab, Bang. Lauknya dikit, tapi bisa makan banyak.”

Ben tersenyum dan kemudian mengangguk setuju. Terry terdiam sejenak, lalu membuka suaranya lagi.

“Kamal itu Adek lu, ya?”

Ben menoleh ke arahnya, kemudian tersenyum lebih lebar. “Sebenarnya bukan, tapi dia udah gue anggep kayak Adek sendiri. Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Gue cuman heran aja, wajah kalian tampak beda, tapi keliatannya lu sayang banget sama Kamal,” jawab Terry dengan jujur. Ben terkekeh, lalu ia merangkul bahu Terry.

“Gue itu anak tunggal yang diusir sama Ibu tiri gue dari rumah, merantau ke kota buat nyari pekerjaan. Eh, nggak taunya gue malah jadi pengangguran.” Terry memiringkan kepalanya dan kemudian bertanya, “Terus, lu bisa berakhir di kostan itu gimana ceritanya, Bang?”

Ben memelankan langkahnya, sehingga mereka tertinggal jauh oleh Steve, Daniel dan juga Kamal. Terry pun mengerti, ia masih menatap Ben, menunggu Ben membuka suaranya. 

“Pas gue nyampe di kota, gue langsung jadi gelandangan di pinggir jalan. Sampe pada akhirnya, gue di deketin sama cewek cantik dan juga seksi, dia ngasih anak kecil ke gue, dia nyuruh gue buat ngerawat anak itu … Dan anak itu adalah Kamal,” Ben menghela napasnya, ia meluruskan pandangannya ke depan.

“Awalnya dia ngasih gue rumah, uang makan dan biaya lainnya. Kamal tinggal bersama gue dan Wanita itu sibuk kerja. Awalnya gue nikmatin itu semua, gue merasa hidup gue terjamin sama dia. Tapi suatu saat gue nganter Kamal ke rumahnya, Wanita itu ditangkep polisi, karena dia terlibat kasus prostitusi. Yeah, ternyata wanita itu seorang pelacur.” 

Terry membulatkan matanya, ia terkejut. “Berarti, Wanita yang lu anggap cantik dan juga seksi itu, Ibunya Kamal?”

Ben menangguk dan kembali melanjutkan ceritanya. “Gue nggak tau dia dipenjara berapa lama, bebasnya kapan, yang gue tau, gue cuman pengen Kamal tumbuh layaknya anak normal seperti biasanya. Karena nggak mampu, gue cuman lulusan SMA, akhirnya gue jual rumah dan gue ketemu kost murah itu. Tamat.”

“Lu Abang yang hebat, gue salut,” puji Terry sambil menatap Ben kagum. “Gue kalo request Ibu gue buat ngelahirin seorang Abang, gue bakal milih orang kayak lu.”

Ben tertawa dan kemudian membalas. “nggak perlu gitu, Ter, lu bisa anggap gue kayak Abang lu.”

Terry menatap Ben dengan kagum sekaligus terharu, sudah dua orang yang ia temui memiliki beban yang lebih berat, tetapi hati nuraninya kuat. Terry merasa dirinya harus berubah, ia tersadar kalau dirinya harus bisa hidup mandiri.

“Makasih, Bang.” Terry tersenyum, Ben menoleh ke arahnya dan juga ikut tersenyum.

Setelah sampai di kostan, para lelaki saling menghamburkan dirinya ke kasur yang sama-sama reyot, kecuali Steve yang harus bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Di Saat Terry sedang berleha-leha di atas kasurnya, seketika Daniel mendobrak pintunya dengan kasar. Lantas Terry terjengit kaget, sampai-sampai ia terjatuh di lantai. Kemudian dirinya mengusap-usap bokongnya yang terasa sakit, ia bangkit dan langsung melirik ke arah Daniel.

“Lu punya masalah apa sama gue, Bang? Buka pintu pake hati!” gerutu Terry yang membuat Daniel terkikik geli.

“Hati gue nggak punya tangan, sampe tahun gajah pun pintu kamar lu nggak akan kebuka,” balas Daniel.

“Bodo amat,” balas Terry lagi dengan nada ketus.

“Iya, iya maaf, gue sengaja.” Terry berdecak sambil merotasikan bola matanya, kemudian Daniel menyodorkan dua lembar uang kertas berwarna merah.

“Nih, gue ganti duit lu waktu itu yang gue rampok dari lu.” Terry tersenyum kemudian menggeleng. 

“Nggak usah, Bang. Gue udah lupain masalah itu, uangnya buat lu aja,” tolak Terry.

“Udah, terima aja, lu lebih butuh. Kalo gue percuma, duitnya abis buat beli miras atau nggak rokok,” kata Daniel untuk membujuk Terry agar mau menerima uang darinya.

“Tapi Adek lu lebih butuh,” Daniel membeku, ia teringat dengan Steve yang sedang pusing memikirkan biaya kampusnya. Terry melanjutkan pembicaraannya, “daripada lu pake buat yang nggak penting, mending duitnya lu pake buat bantu biaya Adek lu kuliah.”

Terry merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa lembar uang hasil mengamennya tadi. “Ini tambahan dari gue, maaf gue cuman bantu sedikit.”

Daniel menghembuskan napasnya, ia menitiskan air matanya. Dengan cepat, Daniel memeluk Terry dengan erat, sehingga yang lebih muda hampir saja terhuyung ke belakang.

“Makasih.” Terry tersenyum, tangannya terangkat untuk mengusap punggung yang lebih tua. Matanya menangkap Steve yang melewati kamarnya, lantas ia melepaskan pelukan Daniel dan langsung berkata, “sekarang lu kasih duitnya ke Adek lu, sbeelum dia berangkat.”

Daniel menghapus air matanya dan kemudian termangut, kakinya langsung melangkah keluar kamar Terry. Beruntungnya Steve masih berada di teras, sedang mengenakan sepatu dan kemudian hendak pergi ke kampus.

“Steve!” panggil Daniel yang membuat Steve memberhentikan langkahnya.

“Kenapa, Bang?” tanya Steve. Sang Kakak menghampirinya, memberinya uang, kemudian memeluknya.

“Maafin Abang, selama ini gue nggak pernah mikirin tentang kuliah lu.”

Steve terdiam membeku, ia terkejut  saat mendengar tangisan Daniel di bahunya. Bibir Steve tremor, ia juga tidak sanggup menahan air matanya. Ia membalas pelukan Kakaknya, mereka menangis bersama saat itu. 

Selama ini Steve memikirkan tanggungan biayanya sendiri, sedari awal Daniel tidak pernah menyetujui Steve untuk kuliah, namun ia tetap kekeh ingin kuliah, ia juga ingin mendapat pekerjaan yang menjamin, sekaligus ia ingin menggapai cita-citanya menjadi seorang seniman. 

Dari kejauhan, Terry tersenyum saat melihat sepasang saudara kandung itu. Terry tidak heran dengan kamar Steve yang selalu terlihat berantakan, nyatanya isi pikiran Steve sebanding dengan kondisi kamar miliknya sendiri.

Teman KostWhere stories live. Discover now