4

20.3K 102 0
                                    

"Bisakah kau membiarkanku sendiri?!"

Aku sedang duduk di kursi meja belajar mengerjakan tugas rumahku saat kudengar Mark berteriak. Napas dan tanganku serempak berhenti bekerja. Aku meletakkan alat tulisku dan mendorong kursiku ke belakang. Siang tadi sepulang sekolah aku menemukan rumah dalam keadaan kosong dan aku merasa kecewa. Kata ayah, Mark sedang berusaha mencari pekerjaan. Dia menghadiri interview kerja untuk menjadi pegawai magang di kantor percetakan. Namun hingga waktu makan malam tiba, dia belum kunjung kembali. Kecemasan ibu memancing perdebatan dengan ayah Mark dan membuat lelaki itu menyuruhku naik ke kamar tanpa menunaikan tugasku mencuci piring. Ibu sangat kesal karena dia berharap Mark menjaga kedisiplinannya jika ingin kembali tinggal di rumah karena itu juga akan menjadi contoh buatku.

Aku mendekati pintu dan membukanya pelan tanpa suara supaya bisa mendengarkan apa yang terjadi di bawah dengan lebih jelas.

"Aku hanya ingin kamu lebih memerhatikan rumah dan adikmu, Mark," tukas ibuku dengan suara pelan.

"Kau hanya ingin mengekangku di rumah supaya aku tidak membuat masalah!" bentak Mark murka. "Apa kalian tidak bisa membiarkanku? Aku sudah dewasa! Aku pulang karena kalian memohon, bukan karena aku ingin. Hargai waktu dan privasiku. Brengsek!"

"Mark!!!" Ayahku balas membentak dengan suara lebih keras. Jantungku seakan melompat mendengarnya. "Jaga bicaramu di depan istriku!"

"Persetan!" kata Mark.

"Mark, kembali ke sini! Mark!"

Tampaknya Mark tidak mengacuhkan perintah ayahnya. Aku memegangi handle pintu dengan cemas, bertanya-tanya apakah pertikaian itu akan membuatnya pergi lagi dari rumah. Namun, kemudian kudengar langkah-langkah mengentak menaiki tangga.

Aku melihat wajah Mark yang tampan memerah menahan amarah. Dia menggerutu sambil menaiki tangga demi tangga dengan suara pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya. "Dasar wanita tolol. Perusak rumah tangga orang," katanya. "Aku membenci semua orang di rumah ini. Dasar brengsek!"

Saat ia selesai mengumpat, langkahnya menapaki tangga teratas dan matanya bersirobok denganku. Tubuhku yang setengahnya berada di luar ambang pintu membeku, tak bisa ke mana-mana. Mark terdiam sedetik untuk kemudian mendengus dan melanjutkan langkahnya. Ia melewatiku begitu saja menuju kamarnya di ujung lantai dua dan membanting pintu keras-keras sampai aku melompat karena kaget.

Tak lama kemudian, dia muncul kembali dengan ransel yang kemarin ia bawa saat akan keluar bersama teman-temannya. Aku masih membeku di tempat yang sama saat Mark melewatiku sekali lagi.

Aku begitu sedih dan ingjn bertanya, apakah dia pergi lagi untuk waktu yang lama karena ia marah? Tapi lidahku kelu. Aku hanya memandangi punggung Mark menjauh. Akan tetapi saat langkahnya mencapai ujung tangga, Mark berhenti. Perlahan, ia menoleh padaku dan membuang napas panjang. Jantungku berdegup kencang ketika Mark memutar dan menghampiriku.

Dia mengusap rambutku, mengelus pipiku. "Masuklah," katanya. "Apa kau tidak harus belajar?"

"Kau mau ke mana, Mark?" tanyaku alih-alih menjawab pertanyaan Mark.

"Hanya ingin menyegarkan pikiran," jawabnya. "Aku akan segera kembali. Oke?"

Aku menahan lengannya.

Mark tersenyum lembut menatapku, "Aku tidak membenci semua orang di rumah ini," katanya. Dia lalu mengecup bibirku. "Aku menyayangimu, Kim, nanti kukabari, oke?"

Aku menggeleng gusar dan manja, aku tak ingin Mark pergi ke mana pun.

"Kau ingin ikut?"

Aku mengangguk.

"Hmmmm," gumam Mark. "Kalau begitu, selesaikan dulu belajarmu, ya? Jangan tidur hingga lewat tengah malam, aku akan menjemputmu. Tapi kau tidak boleh bilang apa-apa pada ayah dan ibu. Deal?"

From The Diary of Mark and KimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang