Part 18

337 40 0
                                    

Jimin terdiam sambil menatap ke danau yang sangat tenang. Sorot matanya terlihat sedih dan juga sedikit berkaca-kaca, ia melepas earphone yang bergelantungan di daun telinga.

Entah apa yang dilakukan Jimin saat ini. Ia meninggalkan kedua adik nya yang sedang diasuh oleh Paman juga Bibi Jeon, Jimin hanya ingin mencari udara segar.

"Ma.. Pa..," lirih Jimin. "Harusnya hari ini aku sangat senang karena dapat bertemu kalian, harusnya aku sangat senang setelah sekian lama menunggu Mama dan Papa pulang."

Ya.. itu.

Seharusnya.

Tapi kenyataannya tidak. Setelah Jimin bertemu dengan mereka ia malah berdiam diri kaku, kedua matanya tak berpaling dari wajah tuan serta nyonya Jeon yang amat ia rindukan. Ia sempat memeluk tubuh kedua orang tuanya dengan tangisan, bukan tangisan bahagia melainkan tangisan pilu.

Flashback..

Setelah mendapat kabar bahwa tuan serta nyonya Jeon pulang, Jimin buru-buru mengambil jaket serta kunci motor. Pergi ke sebuah rumah sakit setelah ia mendapat alamatnya dari sang Paman, di jalan Jimin tak memperdulikan apapun, menyalip motor juga mobil dengan kecepatan di atas rata-rata.

Tertabrak? Jatuh?

Sudah Jimin katakan jika ia tidak perduli. Kalau jatuh atau terkena tabrakan ia tinggal bangun saja, toh kalau kedua hal itu terjadi ia juga akan berada di rumah sakit.

"Hei nak! Bisakah kau berkendara dengan perlahan? Kamu hampir mengalami tabrakan!" Seru wanita paruh baya pada Jimin dari dalam mobil yang ia gunakan.

"Saya tidak perduli, Nyonya. Jika tertabrak pun saya sangat senang, karena saya bisa menyusul orang tua saya yang baru saja berada di alam baka."

Semua pengendara yang tadinya menatap Jimin garam, terganti dengan raut terkejut. Malah para pengendara itu membuka jalan untuk Jimin agar cepat sampai di rumah sakit, Jimin yang melihat tentu saja sangat senang, apa lagi saat ini cuaca mendung. Ia harus buru-buru.

Setelah memakan waktu sepuluh sampai dua puluh menit Jimin pun memarkirkan motornya di area parkir, masuk ke dalam rumah sakit dengan napas yang tersengal-sengal.

"Astaga, apa ada yang bisa saya bantu? Jaket anda terkena air hujan."

"Saya tidak apa. Saya ingin pergi ke ruangan orang tua saya, dan saya denger mereka meninggal dunia pada pukul lima sore."

"Apa orang tua mu korban dari kecelakaan pesawat?"

"Ya, bisa tolong bantu saya?"

Perawat itu tersenyum. Lantas ia mengarahkan Jimin pada sebuah ruangan dimana terdapat para korban jiwa yang mengalami satu kecelakaan pesawat. Jimin sibuk mengekori perawat itu dengan berbagai macam pikiran yang melintas di otaknya, yang ia pikirkan saat ini adalah bertemu dengan orang tuanya, mengubur mayat mereka, dan merelakan kepergian mereka dari dunia.

Hanya tiga hal itu saja, dan entah kenapa perasaan takut mulai menyerang Jimin.

"Ini ruangan semua korban, kamu bisa mencari nama dari kedua orang tuamu di papan  yang sudah tertempel di ranjang rumah sakit." (Aku lupa nama tempatnya itu apa)

Jimin mengangguk. Mengucapkan terimakasih lalu masuk ke dalam setelah perawat itu pergi, melirik ke semua orang yang menangis karena salah satu keluarganya harus pergi meninggalkan mereka.

"Ma, Pa." Gumam Jimin begitu ia melihat nama kedua orang tua nya yang tertera di papan kecil.

Menghampiri tempat itu dengan langkah pelan. Lalu ia membuka kain putih yang menutup tubuh keduanya dan terisak, memang benar jika itu adalah orang tua nya. Ia pikir Paman Jeon hanya bercanda saja.

Tangisan Jimin terdengar ketika ia mengelus wajah nyonya Jeon yang masih seperti seorang gadis remaja, lalu berpindah pada sang Papa yang juga menutup kedua matanya.

"Pa.. kenapa Papa bohong kalau Papa sudah pulang, Papa bakal temani aku belajar? Aku janji kalau Papa bangun, aku akan berhenti main ponsel terus, aku akan bantu Mama cuci piring, cuci motor, temani Mama belanja ke pasar saat Papa sibuk.

Ma, ayo bangun. Mama jangan sandiwara, ada Kookie juga Taetae yang masih butuh kasih sayang kalian, butuh peran kalian sebagai orang tua."

Setelah hampir dua puluh menit Jimin menangis, akhirnya ia pergi pulang setelah membayar semua biaya yang dibutuhkan untuk mengambil mayat kedua orang tuanya. Menelusuri jalanan kota dengan perasaan yang masih tak rela atas matinya tuan dan nyonya Jeon.

Dan disinilah Jimin sekarang, di sebuah tempat yang tenang juga keindahan sinar matahari yang akan tenggelam.

Flashback end

"Kakak sudah pulang? Ingin aku buatkan air hangat?"

Jimin mendongak. Menatap Yejin gadis yang masih berusia empat belas tahun, anak dari Tante nya atau bisa dibilang jika Yejin adalah sepupunya.

"Tidak usah. Kakak mau langsung tidur aja, omong-omong Bibi sama Paman kemana?"

Jimin menaruh kunci motor di tempatnya, menatap Yejin yang masih berdiri ditempatnya. "Aku ngga tau, tapi katanya pergi ke supermarket. Kakak udah makan malam? Kata Mama Kakak gak boleh tidur kalau belum makan."

Sontak Jimin menggeleng. Walau ia bisa menahan hasrat laparnya di jam segini, pasti larut malam ia akan kelaparan dan mendapat ocehan dari Bibinya. 

Yejin tersenyum, menggandeng tangan Jimin dan membawanya ke dapur untuk makan malam. Ia pun sebenarnya belum sempat makan malam, dan Yejin menunggu Jimin agar dapat makan malam bersama.

"Kakak jangan terlalu lama sedih nya. Nanti muka Kakak berubah jadi jelek," kata Yeji dan melahap sesendok nasi dengan lauk pauk.

"Ngga dong. Kakak tetap tampan walau Kakak nangis," elak Jimin tak terima. 

Yeji terkekeh saat melihat ekpresi wajah Jimin yang imut, huh, coba saja mereka dapat tinggal bersama seumur hidup pasti Yejin akan sangat senang.

"Oh iya Kak. Em .. soal Paman juga Bibi, Kakak mau adain hari pemakaman mereka kapan?"

"Soal itu Kakak belum tahu. Biar Paman saja yang urus."

♦♦♦

Yeay.. up lagi!
Setelah sibuk mengetik hapus lagi, ngetik hapus lagi inilah hasilnya...

Maaf kalau nggak sesuai dengan ekspektasi, ini udah pas banget sama pikiran ku soalnya. Mau nambahin kata' juga bingung hehe..

Makasih buat yang tetep stay
Terus jaga kesehatan yaa..

Sorry for typo
And see you~

Little Brother 2 [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang