Satu

35.4K 3K 271
                                    

"Terima kasih, Bu Mimin! Datang lagi ya."

"Dah hapal ya kamu, Din?"

"Sering kesini lho, Mbak Has. Tetanggaku juga."

Aku yang duduk bersimpuh di balik meja kasir mengangguk-angguk. "Iya aku tahu, biasanya sama anaknya kan ibu itu?" tanyaku ringan sembari mengelamuti jemari yang aku pakai untuk menikmati nasi padang.

Aku pikir pertanyaanku biasa aja, tapi kayaknya enggak melihat Dini yang tiba-tiba tampak serius, ditambah suaranya mendesis-desis pula. "Heeeeh, gendakane!"

Kan ... Kan.

"Hah?" aku terpancing. Sedikit kaget juga, sih. Melihat Bu Mimin yang em ... Aku nggak bermaksud body shaming atau bagaimana ya, tapi Bu Mimin tampak biasa aja. Maksudku, ah, ya beliau seperti tante-tante pada umumnya.

"Mbak Hashi ini kudet banget, sering lho foto-foto mesra di Facebook. Pernah kan ya, Mbak, waktu itu upload foto di ranjang, hiih, sawan aku, Mbak. Tapi nggak berapa lama dah dihapus, malu kali ya soale langsung diceng-cengi yang lain," tampak bernafsu banget Dini ini, wajah lesunya yang dari tadi tampak, langsung hilang begitu aja.

Memang benar ya ghibah itu moodbooster? Tobat, tobat!

"Halah halah aku mbok ajakin ghibah terus. Ya udahlah biarin aja," aku mengulurkan lenganku agar Dini membantuku bangkit. "Aku duhur dulu bentar ya, kalau laper makan aja, tapi pake sendok biar kalau ada pelanggan nggak kotor kamu," kataku lagi sambil mewanti-wanti dia.

Siang terik begini Wolu-Wolu—nama minimarketku—memang sepi. Kalau ditanya kenapa aku memberi nama demikian, maka kujawab, karena aku resign dari tempat kerjaku di tanggal delapan. Hari merdeka, hari di mana aku merasa luar biasa bebas. Huh, lega selega-leganya.

Nggak sedikit yang menyayangkan keputusanku buat resign dan pulang kampung ke Surakarta, sebelumnya aku merantau ke Ibu Kota, bekerja di perusahaan besar dengan jabatan dan gaji yang bisa dibilang lebih dari lumayan. Tapi, aku nggak menikmatinya! Tidurku nggak pernah nyenyak! Makanku enak-enak tapi lidahku seperti menolak merasakannya!  Aku kayak hilang gairah hidup, setiap langkah aku jalankan dengan keterpaksaan. Pokoknya, nggak banget! Ibu bahkan menangis-nangis setiap aku mudik dan harus melihat anaknya semakin kuyu dan kurus saja. Tiada hari tanpa pressure, tuntutan, belum lagi lingkungan kerjaku yang Demi Tuhan, luar biasa toxic. Lima tahun berkiprah dalam karir dan selama tiga tahunnya aku habiskan untuk merawat mental ke psikolog. Belum lagi kesehatan fisikku yang menurun, jelas saja aku kurang tidur, jarang berolahraga, kebanyakan junk food dan kafein, libur pun aku habiskan dengan bermalas-malasan menangisi kepusinganku di apartemen daripada mencari sinar matahari dan udara segar.

Sampai pada akhirnya, udahlah! Aku nyerah!

Lalu di sinilah aku, di tempat usahaku sendiri, jadi boss-nya, tidak apalah penghasilanku cuma cukup buat jajan, beli skincare, dan nyicil kreditan mobil, yang penting hidupku tenang. Bahkan perlahan-lahan berat badanku mulai naik, tubuhku semakin segar. Nikmat sekali.

Ya, meskipun sebenarnya ruko ini bukan milikku, sih, aku menyewanya dengan kontrak lima tahun dan masih bisa kutambah masanya. Maklum aja, tabunganku belum sampai kalau dibuat beli tanah sekalian bagunannya, ini pun aku masih menerima hibah dari Bapak dan Ibu.

Bagaimana mau terkumpul ratusan juta jika duitnya kuhabiskan buat melawan stressssss? Hawesmbuh! Ya begitulah, kerja buat dapat duit, duitnya habis buat rawat mental. Ajor, Jum!

Setelahnya, kayak yang udah aku duga, desas desus kalimat eman berterbangan di sana-sini, bahkan ada juga yang terang-terangan mengataiku goblok apalah begitulah. Padahal tahu apa coba mereka itu? Aku yang paling tahu kondisiku sendiri, aku yang paling tahu limitku, aku yang paling berhak menentukan mau kubawa kemana diriku ini. Yang cuma lihat-lihat aja kok ngatur-ngatur?

Ji, Ro, Lu, Linu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang