"HAS! Ditunggu Pak Ali itu lho kamu, Nok!"
"HAS!"
Aku mematikan lagu Sesuatu Yang Indah milik Padi begitu ibuku semakin meraung dari balik pintu. Tahu lho aku, udah tahu kalau Pak Ali lagi nunggu. Ini lagi dandan, ya ampun! Bu Anis itu ya, kalau aku polosan aja nggak dandan dikatain, giliran dandan dulu juga direcoki melulu.
Bergegas aku mendekat ke pintu dengan kaus yang belum aku pakai sempurna, cuma aku tutupkan di depan dada.
"Dandan, Ibuuuuk, ya Allah," suara aku tahan-tahan supaya tidak sampai ke ruang tamu di mana ada Pak Ali di sana.
Ibu memandangiku, memindai dari atas sampai bawah, bawah ke atas.
"Mau olahraga kok dandan segala? Nanti luntur itu bedakmu."
"Nggak bedakan! Cuma pake lipstick sama ngalis doang. Udah ya, pake baju dulu. Dia loh nunggu lima menit lagi juga nggak bakal keberatan."
"Ya wis kalau gitu. Ibu udah siapin apa itu, infused water buat kalian berdua. Hihi. Wis, Ibu tak masak dulu, nanti Pak Ali mau sarapan di sini."
Perhatian, ya...
Ibu bapakku memang udah kesemsem sama Pak Ali dan ya wajar aja, sih. Sebetulnya mereka bukan tipikal orangtua yang memaksa anaknya untuk segera menikah seperti yang banyak dikeluhkan teman-teman sebayaku. Berharap supaya aku segera dapat jodoh itu pasti, tapi tidak gupuh atau memaksa-maksa juga. Padahal usiaku sudah akan menginjak dua puluh tujuh.
Memiliki orangtua seperti mereka, aku banyak beruntungnya. Bapak Ibu itu super suportif dan tak banyak menuntut walau terkadang bawel. Bahkan dulu Mbak Listi kerap kali mendapat rangking bawah dan Bapak Ibu nggak pernah mempermasalahkan, mereka tahu jika mbakku lebih tertarik pada kesenian. Sama halnya denganku ketika lelah dengan kehidupan dan tuntutan pekerjaan di ibu kota, mereka menyambutku pulang dengan riang gembira, belum lagi membantuku mendirikan usaha.
Hartaku yang paling berharga ya itu tadi.
Omong-omong, ternyata aku salah kira, cukup lama waktu yang aku habiskan buat berdandan, ada tiga kali aku mengganti kaus, lalu juga mencari-cari kaus kaki yang entah terselip di mana, yang terakhir masih bisa-bisanya mencatok rambut padahal ujungnya ku kucir juga.
Anak muda zaman sekarang menyebutnya ... effort. Mbuh lah, aku cuma mengikuti kata hati aja.
Pukul enam lewat sembilan belas menit aku keluar dari kamar sambil menenteng sepasang sepatu, sayup-sayup terdengar percakapan Bapak dan Pak Ali, suara mereka semakin besar seiring jarak yang kian terpotong. Lantas begitu aku sampai di ruang tamu, keduanya kontan menghentikan obrolan dan memusatkan atensi padaku.
Oalah, begini toh rasanya jadi main character.
Ya bagaimana aku biasa menjalani hidup sebagai salah satu semut pencari gula di ibu kota, pergi pagi pulang hampir pagi, sesekali tifus dan sakit lambung tapi tetap hobi makan junk food dan kopi, nggak ada tuh aku didekati direktur atau CEO seperti mbak-mbak kantoran di novel dan drama.
Ini pertama kalinya aku mendapat perlakuan bak sesosok yang spesial dan rasanya ... duh, geli banget perutku, Jum! Aku seketika mules! Tadi entah kenapa aku belum bisa BAB pagi padahal udah ku paksa-paksa, mungkin karena kemarin aku cuma sedikit makan sayur atau— ah, mbuh, lah!
Dipandang begitu, reflek aku mengarahkan jemari ke telinga, berniat menyelipkan rambut tapi lupa kalau lagi kuciran, dan karena sudah terlanjur ya sudah, akting saja.
"Udah, Has?" Pak Ali akhirnya bersuara.
Aku mengangguk-angguk malu khas perawan tulen. Nggak berselang lama kemudian kami langsung berangkat berbekal dua infused water buatan Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ji, Ro, Lu, Linu!
RomanceLelah dengan pekerjaannya sebagai budak korporasi di kota metropolitan membuat Hashi Mahika ngacir pulang ke kampung halaman dan menjalankan minimarket. Mengorbankan uang tabungan tak lupa tunjangan dari bapak ibu, maka jadilah. Tidak apalah penghas...