• selamat tinggal •

570 50 20
                                    

Hari, minggu, dan bulan telah berganti

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari, minggu, dan bulan telah berganti. Winnie kembali ke rumah sakit yang pernah menyelamatkannya dulu. Bukan untuk dirawat, berobat, atau semacamnya, melainkan berkunjung membawa hal baru yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan akan terwujud. Gadis yang memakai setelan biru muda formal itu lekas menghampiri para tamu yang duduk di depan panggung.

Setelah berdiskusi dengan berbagai lembaga yang terlibat, ia menyulap taman bersejarah di hidupnya sebagai tempat kampanye. Ia menyuarakan aspirasi perlindungan kekerasan perempuan yang didukung oleh banyak pihak. Memang sedikit wartawan yang meliput kegiatan ini, mengingat area rumah sakit tetaplah tempat memerlukan ketenangan. Namun, Winnie telah bekerja sama pada stasiun TV milik kenalan ibunya untuk menayangkan rangkaian acara secara langsung. Selain dihadiri oleh pejabat penting, pembicara yang berasal dari kalangan survivor menambah kekhidmatan agenda yang menjadi keinginan Winnie sedari dulu.

"Nyari siapa, Nak?" tanya ibu Winnie saat melihat putrinya celingak-celinguk.

"Tamu undangan spesial."

"Pangeran negeri dongeng yang kamu ceritakan waktu itu?"

Winnie tertawa kecil dan mengangguk. "Iya, dia."

Jauh sebelum hari ini tiba, Winnie meletakkan surat, karangan bunga, dan berbagai makanan ringan untuk Peter--serta Tere dan anak-anak abadi lainnya--di gapura menuju Unknownland. Mungkin sedikit mustahil, tetapi ia berharap mereka dapat bertemu kembali. Meski apa yang ia lakukan sekarang bukan serta-merta untuk Peter, Winnie sedikit menyelipkan kalimat lelaki itu sebagai motivasi. Dalam doanya, ia tetap memanjatkan agar Tuhan mengizinkan mereka bercakap-cakap lagi.

"Namamu dipanggil, tuh. Ayo, ke depan dulu."

"Ah, iya."

Winnie sempat terkesiap saat ibu dan pembawa acara menyadarkannya dari lamunan. Ia segera naik ke panggung dan mengambil alih mikrofon yang ditawarkan. Sontak riuh tepuk tangan mengiringi salamnya. Gadis yang tampak anggun sekaligus berwibawa itu mengucapkan terima kasih pada seluruh pihak yang membantu ketercapaian acara ini. Juga sedikit menjelaskan tentang #PerempuanMelawan yang ia galakkan bersama KOMNAS Perempuan melalui film pendek layanan masyarakat dan seminar kesadaran di lembaga pendidikan hingga pelosok jalanan.

"Perempuan itu tidak lemah. Mereka punya suaranya sendiri." Bayangan Peter tiba-tiba melintas di ingatan Winnie. "Teman saya pernah mengatakan kalau setiap orang punya value masing-masing. Hal yang terpenting adalah apakah mereka mengetahui itu dan mau menerimanya atau tidak. Korban bukan orang yang paling menanggung malu.  Meski pahit, mereka yang susah payah menerima itu, lalu bangkit. Semua orang harus menyamakan persepsi bahwa tersangkalah yang wajib diberi sangsi, baik dari hukum maupun masyarakat. Tidak boleh ada pengecualian. Tidak ada pewajaran. Tidak ada normalisasi dalam bentuk apa pun."

Samar-samar Winnie menangkap sosok yang memakai setelan serba-hijau di barisan paling belakang. Warna yang sangat mencolok itu membuatnya sedikit hilang fokus dan menutup pidatonya dengan jargon yang dibuat para panitia. Ia lantas meminta izin pada ibunya untuk menemui tamu dan menunda wawancara dengan wartawan sebelum urusannya selesai. Tidak salah lagi, batinnya yakin. Ia bahkan menunjuk ke arah gadis berambut panjang itu.

Finding Unknownland ✔Where stories live. Discover now