Acasia: Katja Selin

10 7 24
                                    

Kat itu gadis yang ramah. Dia sudah ku anggap adikku sendiri. Ingat hari di mana dia mengajakku berbincang malam hari itu? Kami se-frekuensi, kami cukup cocok dan memiliki pemikiran yang cukup similar.

Aku pikir Kat bisa bertahan hidup bersamaku. Dia juga tidak begitu menentang pendapatku tentang keluar dari tempat ini. Aku pikir kami akhirnya akan bisa keluar bersama.

Tapi mengapa justru Kat yang diambil lebih dulu.

22 Oktober 2020. Dini hari ini, Katja Selin ditemukan tidak bernyawa di ruang utama. Di depan perapian yang tidak menyala.

Darah. Di bawah tubuhnya yang tak lagi memperlihatkan tanda-tanda kehidupan, cairan pekat itu menggenang di sana. Aku sontak menahan napas, tak sanggup untuk mencium aroma kematian itu serta menjauhkan pandanganku dari sana tak sanggup untuk melihat betapa pahitnya kenyataan.

"Aku hanya bisa berharap Kat lebih baik di alam sana."

Apanya yang di alam sana, dia menjadi tumbal. Tempat yang didapatnya adalah di bawah makhluk yang memerangkap kami. Aku meringis, getir dengan respon mereka atas apa yang terjadi pada Kat. Kenapa harus Katja, padahal yang kulihat Kat lebih baik daripada yang lain di sini.

"Kalian sudah banyak melihat kematian seperti ini, tapi kenapa bisa-bisanya kalian masih pasrah dengan keadaan?" ucapku sinis. Aku tidak bisa terima ini, aku tidak bisa mengerti, kenapa mereka masih saja teguh pada pendirian mereka. "Aku yakin ada cara untuk keluar dari tempat ini," lanjut ku kemudian.

"Terserah jika kau mau keluar dari sini, yang penting jangan libatkan kami." Serta Rion yang menatapku tajam. Tamara tidak mau menatapku, begitupun Lian dan Era. Uh, sebegitu nya mereka tidak mau mengikuti saran ku?

Padahal aku sudah berusaha menjadi baik dengan mengajak mereka untuk keluar bersama. Tapi ya sudahlah, ini terakhir kalinya aku mengajak mereka. Selanjutnya aku akan berusaha untuk keluar dari tempat ini sendiri, dengan spekulasi keluar sebelum purnama selanjutnya datang.

Cara menjadi kuat adalah dengan menghadapi setiap ketakutan.

Sejak kecil aku suka sekali menantang diri, mencoba sesuatu yang baru dan berbeda. Aku suka tantangan, mencoba untuk melampaui batas kemampuanku.
Jadi kali ini bukanlah sesuatu yang terlewat baru, insting ilmiah ku langsung memberi sinyal untuk mengatur skema penyelesaian dan jalan keluar.

"Kalau kamu ingin melakukannya, lakukan sendiri, jangan libatkan yang lain." Adalah ucapan Lian ketika kami tidak sengaja bersinggungan jalan.

Apa sungguhan bisa keluar dari sini hidup-hidup adalah omong kosong? Sampai sebegitu nya tidak mau mereka dilibatkan dalam usahaku keluar dari tempat ini. Memangnya apa saja yang sudah mereka lalui? Apa lagi yang tidak aku ketahui? Aku ingin tahu, tapi entah mengapa rasanya aku sudah muak untuk menanyakannya.

______

"Gimana menurutmu desa Murrain, terutama Bay Leaf?"

Tamara Bleszynski, cewek satu ini menghampiriku yang tengah duduk di menara taman. Dari atas sini kami bisa melihat semuanya, desa ini indah andai tidak ada tembok asap itu yang memerangkap.

"Sekilas ini seperti desa pada umumnya, tapi ... aku penasaran dengan orang-orang desa ini, apa mereka mengerti apa yang terjadi?" Jujur, aku pikir karena ini bukan desa manusia maka tidak akan ada orang lain selain kamu berlima. Tapi ternyata ada warganya, namun aku belum sempat bertemu, baru hari ini aku melihatnya itupun hanya dari atas menara taman ini. Jumlahnya juga tidak banyak sama saja seperti desa pada umumnya yang minim penduduk dan berusia senja.

"Mereka hanya raga tanpa jiwa, mereka di sistem oleh makhluk itu untuk bersikap layaknya warga desa pada umumnya," jawab Tamara.

"Apa yang terjadi jika kita menanyainya tentang sistem pertumbalan ini? Apa mereka bisa keluar desa?" tanyaku. Kali ini fokus ku tertuju hanya pada Tamara dan segala apa yang akan ia ucapkan.

"Setahuku mereka tidak bisa keluar. Mereka seolah tidak tahu, tapi jika kita memaksakan mereka untuk menjawab, makhluk itu akan datang dan membuat kita tak sadarkan diri serta mengambil satu nyawa kita."

Aku bisa membayangkannya, makhluk itu pasti akan datang dan mengucapkan kalimat seperti yang diucapkannya tempo lalu padaku ketika menerobos asap hitam. Hanya saja, beberapa katanya diubah sesuai dengan apa yang telah dilanggar.

"Makhluk itu sebenarnya seperti apa? Mengapa dia membuat kita di sini, apa alasannya?"

"Kesenangan, semakin menderita kita semakin senang dia. Semakin berulah yang ditandai maka semakin menarik baginya, dan tentunya dia akan merasa terpuaskan." Kali ini bukan Tamara yang menjawab, tapi
Lion. Menara ini memang muat beberapa orang sekaligus, bahkan meski kami bertiga sudah ada di atas sini masih ada ruang lagi.

"Sebenarnya makhluk apa dia itu? Dari pertama kalian menjelaskan tidak ada sekalipun kalian menyebutkan namanya," tanyaku lagi.

"Kita tidak boleh menyebut namanya atau dia akan datang," jawab Tamara.

"Bagaimana rupanya?"

"Sia ternyata penasaran sekali ya!" Tamara menggeleng kecil, aku tersenyum meringis.

"Makhluk itu abstrak. Dia bisa menjadi apa saja, ingat pertama kali kamu bertemu dengannya?" Lion menjelaskan, tanyanya ku jawab dengan mengernyit.

"Bertemu dengannya?" Aku membeo.

"Saat kau dicekik olehnya, saat kamu diberi tanda olenhnya, maksudku," jelas Lian kemudian. Eh! Jadi itu bukan mimpi--

"Begitu ya, baiklah aku paham. Terima kasih," ucapku. Di waktu ini seketika hening, tidak ada yang bersuara bahkan suara hewan sekalipun.

Saat ini aku mendongak menatap langit. Tidak cerah. Aku penasaran apa bisa keluar lewat udara? Aku menggeleng, itu tidak mungkin. Sudah dipastikan jika terbang di atas sana pasti akan celaka.

"Sekarang kau tidak mengajak kami ikut ya," celetuk Tamara. Nadanya terdengar jenaka.

"Memangnya kalian mau?" Mereka menggeleng.

"Oh ya, bagaimana hubungan kalian dengan Katja," tanyaku. Aku penasaran, sejauh ini mereka pastinya lebih mengenal Katja daripada aku, dan ... lebih banyak melihat kematian yang lainnya di sini.

"Dia gadis baik, sudah kuanggap adik sendiri." Ini jawaban Tamara. Ia mendongak menatap langit, warna awan itu jujur saja mengingatkan siapapun pada warna rambut Katja yang abu-abu, uh kenapa anak itu harus pergi lebih dulu, menjadi pertama yang aku lihat tak bernyawa di sini.

"Ya, aku juga menganggapnya adikku sendiri." Ini bukan aku, tapi Lian.

"Bukannya kamu menyukai Kat, Lian?" Dan yang ini Tamara. Aku terdiam, memperhatikan. Berfikir tentang Bay Leaf tidak hanya tempat terkutuk tapi juga tempat tumbuhnya cinta. Tidak, aku menggeleng, hal yang seperti ini sangat tidak cocok ada di sini.

"Apa-apaan ucapanmu itu Tamara, jangan mengada-ada!" seru Lian tak terima.

"Aku tidak mengada-ada, aku mengatakan kebenarannya," ucap Tamara santai.

Lian melengos. "Oke, aku pergi dulu," ucapnya sembari berancang-ancang turun.

"Lian, kau kabur lagi!"

Astaga ....

Bay LeafWhere stories live. Discover now