── sebelas ; nikel

611 141 14
                                    

Ponselku yang bergetar membuatku segera meraba-raba permukaan meja nakas di sisi tempat tidur. Benda pipih itu masih bergetar ketika aku menemukannya. Di layarnya, jam telah menunjukkan tepat pukul tujuh pagi.

Ah, ini merupakan alarm untuk belajar di hari Sabtu seperti hari ini. Segera kuputuskan untuk bangkit dari tempat tidur. Sudah saatnya untuk kembali beraktivitas.

Aku melangkah ke luar kamar, lebih tepatnya menuju ruang makan. Di mana Mama dan Kak Mars sudah duduk di sana. Aku pun duduk di hadapan Mama. Sementara bibirku mengucapkan sepatah kata yang sudah menjadi kebiasaan.

"Pagi, Ma, Kak."

Dan sama seperti biasanya. Mama hanya menatapku, tidak menjawab sapaanku tadi. Aku hanya bisa menunduk. Menghindari tatapannya yang itu yang terasa menembus kulitku.

"Pagi juga, (Y/n)."

Sontak aku mendongak kala mendengar suara Kak Mars memasuki telingaku. Aku terlampau tidak bisa berkata-kata. Sapaan yang selama ini tidak pernah mendapatkan balasan dari siapapun mendadak terbalas. Bahkan oleh seseorang yang kubenci.

Kak Mars hanya menatapku balik. Dari tatapannya itu seolah-olah menunjukkan kalau apa yang dirinya lakukan tadi bukanlah hal aneh. Bukan hal yang patut dipertanyakan. Kau salah besar, Kak.

"Cepat makan sarapan kalian. Sampai kapan kalian mau tatap-tatapan terus?" Suara Mama memecahkan keheningan. Sekaligus memutuskan kontak mata kami. Aku tidak sadar jika saat melamun tadi, aku masih menatap ke arahnya.

Roti di tanganku itu kugigit. Setelah menghabiskannya, aku meneguk segelas susu yang masih hangat. Menyapu bersih kerongkonganku. Namun, sesaat aku tiba-tiba tersedak cairan berwarna putih itu. Bersamaan dengan kejadian tersebut, aku sontak berlari ke wastafel terdekat. Yang biasanya digunakan untuk mencuci piring.

Benar saja. Roti yang baru kuhabiskan kini memenuhi rongga mulutku sebelum kukeluarkan. Ugh, rasanya menjijikan sekaligus menyakitkan kerongkonganku. Padahal tidak biasanya tubuhku seperti ini. Bahkan sudah sangat lama sekali semenjak terakhir kali aku memuntahkan isi perutku sendiri.

"(Y/n)! Kamu gak apa-apa?!"

Dapat kurasakan pijatan yang lembut di leherku dan juga usapan di punggung. Dari suaranya, sepertinya Kak Mars-lah yang melakukannya. Aku tak sempat berpikir mengapa Kak Mars tiba-tiba menjadi sebaik ini padaku. Padahal sebelumnya kata-katanya itu selalu menyakiti. Bahkan pernah sekali hingga membuatku menangis sendirian di kamar. Haha, perubahan yang tidak masuk akal, bukan?

"Perutmu tadi masih kosong, 'kan? Kamu juga gak makan apa-apa sebelumnya. Kenapa bisa tiba-tiba muntah?" Kak Mars tampak berpikir. Aku juga tak tahu apa penyebabnya. Rasa mual itu seketika mencekikku.

Aku menggeleng pelan. Sudah tak ada apapun di rongga mulutku. Lebih tepatnya, sudah tidak ada apa-apa lagi yang bisa dikeluarkan. Aku baru sadar jika memuntahkan sesuatu terasa begitu menyakitkan seperti ini.

"Nih. Minum dulu, (Y/n)."

Kak Mars menyodorkan sebuah mug di depan wajahku. Aku pun menerimanya. Permukaan mug itu terasa panas ketika kugenggam. Sepertinya air yang berada di dalamnya merupakan air panas. Aku tidak tahu kapan Kak Mars mengambilkannya untukku. Mungkin aku yang tidak menyadarinya.

"Makasih, Kak." Aku menyesapnya perlahan. Rasa hangat mengalir di kerongkonganku sesaat setelah aku menelannya. Kembali aku melakukan hal yang sama hingga isi mug itu tandas setengahnya.

"Masih ada yang sakit gak? Kalo kamu lagi ngerasa gak enak badan, bilang sama Kakak. Jangan diem aja! Emangnya kamu pikir Kakak bisa tau kalo kamu lagi sakit tapi, kamunya gak bilang apa-apa?" katanya panjang lebar.

━━ # . 'Unreachable, Yet ✧ WEE!!!Where stories live. Discover now