Pelarian Tak Berujung

20 10 17
                                    

Gaun pengantin dengan motif bunga disertai permata yang berkilauan membuat kecantikan seorang wanita cantik kian menawan. Ia berjalan anggun dengan senyuman yang terus mengembang, ditambah terpaan cahaya bulan yang menerebos jendela besar di sana, semakin membuat wanita itu tampak sempurna. Netranya sama sekali tak teralihkan dari sosok pria jangkung yang berdiri di altar pernikahan tepat di hadapannya.

Pun dengan pria berbalut jas hitam pekat yang setia menunggu kedatangan sang mempelai wanita. Matanya yang tajam terus menatap lekat wanita yang tengah berjalan ke arahnya, seolah ia sudah tidak sabar untuk mengucapkan janji pernikahan bersama.

Tak begitu banyak tamu yang datang, hanya sebagian keluarga pria dan dua orang teman mempelai wanita. Namun, tetap saja, penjagaan untuk kelancaran pernikahan tersebut sangatlah ketat. Begitu banyak pengawal di setiap sisi bangunan gereja tersebut, seolah pernikahan mereka memang sangat rahasia.

Pijakan kaki mempelai wanita kini sudah sampai di atas altar pernikahan, tangan sang pria langsung terulur menyambut calon istrinya. Senyuman keduanya merekah semakin lebar.

Pendeta mulai mengarahkan calon pasutri itu untuk saling berhadapan. Mereka akan memulai upacara pemberkatan yang berisi beberapa pertanyaan dari masing-masing mempelai.

Pertanyaan tersebut bermaksud untuk mengetahui kesungguhan dari hati keduanya, yang kemudian dijawab dengan sangat yakin secara simbolis dan bergantian. Pemberkatan tersebut akan menjadi prosesi pernikahan yang menyatukan kedua mempelai.

Sesaat sebelum pertanyaan terakhir yang akan dilontarkan sang mempelai wanita, tiba-tiba panggilan keras dari seseorang malah menghentikannya. Ia datang dengan berlari seolah sedang terburu-buru.

"Marry!"

Sontak semua orang yang ada di sana menoleh ke belakang, mereka mendapati wanita paruh baya yang terengah-engah dengan seorang bayi di gendongannya. Ia menatap lekat pada mempelai wanita di depan sana.

"Marry, an-"

Seketika dua orang berbadan kekar dengan setelan jas yang dilengkapi kacamata hitam juga walky talky di sakunya datang mencekal kedua lengan wanita itu.

"Sorry, Big Boss. Kami sudah mencegahnya masuk, tapi dia tetap memaksa dan berhasil menerobos," adu salah satu bodyguard di sisi kiri.

Seseorang yang dipanggil 'Tuan' alias sang mempelai pria pun memicingkan mata. Sementara wanita di sampingnya malah menggigit bibir bawah dengan rasa takut. Kegelisahan mulai tampak di wajah cantiknya. Deru napas wanita itu juga memburu hebat.

"Lepaskan dia." Pria berjenggot tipis itu mulai memerintah dengan suara berat.

Kedua pengawal segera melepaskan wanita yang datang tanpa diundang itu, ia langsung berlari ke arah pengantin wanita.

"Who are you? Berani-beraninya kau menghentikan pernikahanku!"

"Aku hanya ingin bicara sebentar dengan Marry."

Ya, Marry Zabella. Itulah nama sang mempelai wanita yang kini menatap nanar pada wanita di sampingnya. Tatapan yang seolah memohon untuk tidak mengatakan apa-apa dan pergi secepat mungkin dari sana. Namun, wanita yang masih setia menggendong bayi itu malah tak menggubrisnya sama sekali.

"Marry, look," ucap wanita itu menyodorkan bayinya. "Anakmu sedari tadi terus menangis, dia kelaparan dan butuh asupan susu langsung dari ibunya. Badannya juga panas, sepertinya dia demam."

Marry memejamkan mata singkat, hal yang ia takuti akhirnya terjadi. Dia hanya bisa diam dan tidak tahu harus bagaimana, setelah ini bencana besar pasti akan menimpanya.

"Aku kewalahan, Mar. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain datang ke sini memberitahumu selaku ibunya. You know, right? I'm not experienced with babies," lanjut wanita itu.

Semua orang langsung memasang wajah terkejut, begitupun dengan pria di samping Marry. Netranya menajam dengan rahang yang mengeras, raut kemarahan mulai membungkus wajahnya.

"Child?" tanya pria itu penuh penekanan.

Marry seketika mengerjap dan langsung berlutut di depan calon suaminya. "Aku bisa jel-"

Plak!

"Jadi kau menipuku selama ini, hah?"

Satu tamparan keras berhasil membuat Marry tersungkur, kini cairan bening mulai terbendung di matanya. "It is not like that, Fellix."

"Don't say my name!" Fellix mendekati Marry lalu meraih rahang wanita itu dan mencekalnya keras. "Aku tidak menyangka, kau berani menipu seorang ketua gengstar sepertiku!" Pria itu kembali mendorong Marry.

Marry hanya bisa menghela napas pasrah, ia tahu bagaimana nasibnya jika sudah berada di dalam amukan Fellix yang kejam. "I am so sorry, aku tidak bermaksud membohongimu. Aku berniat memberitahumu setelah pernikahan ini selesai."

"Apa kau pikir aku akan menerima wanita yang tubuhnya sudah dijajah pria lain?"

Cairan itu kini luruh membasuhi pipi Marry yang sedikit memerah. "Please, forgive me ...."

Fellix malah tersenyum miring. "Aku tidak sudi menerima permohonan maafmu!" serunya keras. Tatapannya malah teralih pada bayi yang masih berada di pangkuan wanita tadi. Fellix terdiam sejenak dengan seringai di wajahnya, ia terus memandang anak itu lamat-lamat.

Marry tahu apa yang ada di pikiran pria tersebut. Jangan sampai anak yang baru berusia enam bulan itu menerima kekejaman dari seorang Fellix. Marry langsung mengambil alih putrinya dan berlari dari sana.

Tentu Fellix tercengang dan semakin murka. Ia menggeram tak terima dan berseru kencang. "Chase him!"

Marry terus herlari menelusuri lorong gereja, untung saja ia mengetahui titik bagian di mana anak buah Fellix tidak menjaganya di sana. Sesekali ia terjatuh karena tersangkut gaun panjangnya. Derap langkah beberapa bodyguard Fellix semakin terdengar mendekat, membuat Marry takut dan mengeratkan pelukan pada anaknya.

Sementara Fellix tampak menghubungi seseorang dengan walky talky, rautnya semakin terbakar emosi kala anak buahnya belum juga mampu mengejar Marry.

"Yes, Big Boss," sambut salah satu anak buah dari seberang walky talky-nya.

"Saya tidak mau tahu, dapatkan Marry apa pun caranya! Life or death. Jika perlu lakukan cara yang selalu kita pakai pada musuh."

"Baik, Big Boss."

Sementara wanita dengan gaun pengantin yang sudah lusuh, kotor, dan sedikit robek itu terus berlari menuju luar gereja. Bangunan gereja yang terlalu besar membuat Marry lelah, tetapi mau tidak mau dia harus tetap melarikan diri agar terhindar dari Fellix atau pun anak buahnya.

Langkah wanita tersebut seketika terhenti kala mobil silver ia tangkap oleh penglihatan. Untung saja ia keluar tepat di tempat parkir mobil miliknya, Marry langsung memasuki mobil tersebut dan menancapkan gas dengan kencang.

Tak jauh dari sana, anak buah Fellix segera memberi tahu sang atasan. "Big Boss, cara untuk menangkap Marry sudah kami atur pada mobilnya, dan wanita itu juga sudah pergi dengan mobil tersebut."

"Good." Hanya itu timpalan Fellix dari seberang walky talky, pria itu kembali menyeringai. "Kau tidak akan lolos dariku, Marry."

Marry masih sibuk menyetir dengan terus mengecek bayi pada kursi di sampingnya. Jalanan tampak licin dengan guyuran hujan yang membuat mobil Marry terus berdecit karena rem dadakan. Suasana jalan tidak begitu ramai, hanya kelap-kelip lampu temaram yang membalut malam di Kota Havana ini. Walau begitu, Marry tetap menambah kecepatan pada mobilnya, ia tidak memikirkan bahaya di tengah jalan.

"Sabar, ya, Nak. Ibu akan menyelamatkanmu."

Wanita Tak KuasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang