Kehilangan Yang Menjadi Awal

1 0 0
                                    

Kelopak mata yang tampak sedikit mengkerut akibat faktor umur kini terbuka secara perlahan. Netranya bergulir dan menangkap sesosok gadis yang tengah tertidur pulas di tepi ranjang tepat di sampingnya. Merlyn tersenyum bahagia saat anak semata wayangnya ini masih bersedia menemaninya.

Kepala yang menelungkup itu pun terusik dan langsung terbangun seraya mendapati sang ibu yang sudah membuka mata.

"Ibu, kau sudah sadar? Bagaimana keadaan Ibu sekarang? Ibu baik-baik saja? Apa masih ada yang sakit?"

Merlyn sungguh tidak habis pikir akan disambut dengan segudang pertanyaan seperti ini.

"Kenapa Ibu diam saja?" tanya Lizza tak sabaran. "Ah, maaf, aku lupa. Ibu pasti masih lemah dan susah untuk berbicara." Perempuan itu baru menyadari hal tersebut.

Tangan Merlyn bergerak dengan susah payah untuk meraih wajah putri cantiknya. "M-makasih, ya, Nak," kata wanita itu terbata-bata.

Spontak Lizza langsung menggenggam tangan sang ibu yang masih menempel di pipinya. "Ibu istirahat saja dulu, tidak perlu memaksakan diri untuk berbicara. Lagipula ini sudah kewajibanku sebagai anak untuk menjaga ibunya. "

Satu tetes air mata mengalir dari kedua sudut netra Melryn. Wajah wanita itu begitu sedih dan lesu.

"Kenapa Ibu menangis? Ibu harus kuat."

Merlyn hanya mengembangkan bibirnya dan berpura-pura baik-baik saja. "Ibu m-mau mengatakan s-seuatu." Dengan napas yang sedikit tersengal, Merlyn tetap memaksa bersuara.

"Apa itu?"

Tangisan wanita yang terbaring tak berdaya itu semakin deras, membuat Lizza kian cemas. Ia segera mendekatkan wajahnya dan menghapus air mata sang ibu. "Ibu, ada apa?" ucap Lizza pelan.

Dada Merlyn tampak naik turun, dia kelihatan sesak dan terus berusaha mengatur napas sebaik mungkin. Walaupun sudah dibantu dengan selang oksigen di hidungnya, tapi hal tersebut tidak berpengaruh banyak. Wanita itu tetap kesusahan bernapas.

Kedua mata Lizza sudah dibendung dengan air mata. Ia tidak tega melihat ibunya yang begitu menderita, tetapi tetap berusaha untuk terlihat kuat di depannya. "Kalau tidak kuat, Ibu jangan bicara dulu."

Merlyn menggeleng pertanda tidak apa-apa. Di tengah-tengah sesaknya wanita paruh baya itu masih saja berusaha untuk berucap, "I-ibu minta m-maaf." Dengan susah payah ia meminta maaf pada putrinya, entah kesalahan apa yang dia buat.

Lizza mengernyit. "Maaf?"

Air mata terus berderai dari sudut pelupuk Merlyn. Ia sungguh tidak sanggup mengatakan semuanya, seolah lidahnya kaku dan tidak bisa diajak bekerja sama. Namun, hal itu harus dilakukan sebelum terlambat. "Maaf k-karena Ibu baru memberitahumu, kalau k-kau s-sebenarnya bukan p-putri kandungku."

Lizza yang tengah dilanda kecemasan akan kesehetan ibunya lantas terkejut dan semakin gelisah. Fakta tersebut amat menyakitkan dan membuat hatinya hancur tidak karuan.

"M-maksud Ibu apa?" tanya Lizza yang kini ucapannya juga terbata-bata saking terkejutnya.

"T-tidak masalah kalau sekarang k-kau membenci I-ibu, tapi itulah kenyataannya. B-bahwa kau hanya anak angkatku." Merlyn terus menatap putrinya dalam-dalam, berharap dia bisa menerimanya.

Lizza membuang muka dengan tawa hambar. Selama dua puluh tahun Merlyn telah merawat dirinya dengan baik dan penuh kasih sayang, mana mungkin dia bukan ibu kandungnya.

Gadis itu menggeleng keras. "Tidak. Ibu jangan bicara sembarangan, ini pasti karena Ibu lagi sakit sampai ucapan Ibu ngawur seperti ini. Sebaiknya Ibu istirahat dulu."

Lizza bangkit dan hendak meninggalkan sang ibu. Namun, Merlyn berhasil menahannya dengan tangisan yang kian menjadi-jadi. Hal itu semakin membuat sesak napasnya lebih gawat.

Lizza berbalik dan langsung menghapus air mata ibunya dengan penuh sayang. "Ibu, please! Sekarang bukan waktunya memikirkan hal lain, tapi pikirkan saja kesehatan Ibu sendiri," cakap Lizza dengan air mata yang juga sudah berjatuhan.

Dirinya masih tidak percaya akan semua yang tadi didengarnya. Itu pasti hanya omong kosong belaka.

Merlyn terus terisak ditengah sesak. Ia akan terus meyakinkan gadis di hadapannya.

"K-kalau kau tidak p-percaya, kau bisa m-melihat note di laci." Merlyn melirik laci di samping ranjangnya. "Di sana a-ada alamat seseorang. Orang itulah yang m-mengetahui perihal kedua o-orang tua kandungmu."

Lizza menguatkan rahang, ia sungguh tidak terima kenyataan pahit ini.

"K-karena Ibu juga tidak tahu keberadaan orang tuamu, j-jadi kau harus mencari o-orang itu," lanjut Merlyn dengan napas terengah-engah.

Sampai detik ini pun Merlyn masih menyelipkan kebohongan. Ia tidak berani membeberkan kalau orang tua kandung Lizza sudah tiada. Biarlah gadis itu mengetahui dengan sendirinya, Merlyn pikir itu jauh lebih baik. Untuk saat ini ia tidak mau membuat hati Lizza semakin hancur, maka ia tetap merahasiakan itu.

Tak disangka, ucapan tadi ialah kata-kata terakhir dari Merlyn. Karena setelahnya mata wanita itu mulai terpejam secara perlahan seraya mengembuskan napas terakhir.

"Ibu!" Lizza menyeru dengan mata membulat. Ia belum siap akan kehilangan ibunya. "Ibu, bangun! Ibu!"

Tanpa pikir panjang gadis itu lantas berlari keluar. Ia tidak peduli dengan tatapan semua orang yang terheran-heran akibat dirinya masih mengenakan gaun pengantin. Lizza tetap sibuk mengedarkan pandangan mencari siapa pun sosok dokter yang bisa menolong ibunya.

"Dok! Dokter!" panggilnya seraya terus berlari menghampiri sang dokter yang baru saja lewat. "Tolong Ibu saya, Dok!"

Dokter tersebut hanya menautkan kedua alisnya, lalu mengikuti Lizza dengan tergesa-gesa.

Selagi dokter memeriksa keadaan ibunya di dalam sana, Lizza terus mondar-mandir dengan diselimuti kecemasan tinggi. Perasaannya begitu tidak enak.

Pintu ruangan seketika terbuka dan langsung menampilkan dokter yang tadi. "Mohon maaf, kami tidak bisa menyelematkan ibu Anda. Kami turut berduka atas meninggalnya beliau. Permisi."

Tangisan Lizza sontak pecah di sana, ia tidak sanggup jika harus kehilangan sosok ibu yang selama ini begitu mencintainya. Ia belum siap. Tanpa izin, gadis tersebut memasuki ruangan seraya menghamburkan pelukan pada sosok ibu yang sudag tampak pucat tak bernyawa.

"Ibu ...."

Lizza tidak bisa berbuat apa-apa, kematian bukanlah hal yang mampu ia ubah begitu saja. Hari ini adalah hari paling menyedihkan bagi Lizza. Sang ibu tiada karena penyakit akutnya dan pernikahannya juga gagal total.

Tiba-tiba Gio datang dan langsung merengkuh tubuh Lizza. Dia mendekapnya begitu erat. Gio tidak mungkin membiarkan calon istrinya menghadapi semua ini sendirian. Setelah ibunya tiada Lizza adalah tanggung jawabnya, tidak peduli walaupun mereka belum menikah.

"Kau harus kuat," kata Gio berusaha menenangkan.

Lizza ambruk seketika, bahkan ia tidak kuat menopang beban tubuhnya sendiri. Sama halnya ia tidak mampu menyelami dunia setelah ibunya tiada. Lizza sungguh menderita.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Wanita Tak KuasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang