Derita Di Persimpangan

6 0 0
                                    

20 Tahun Kemudian.

Sebuah bangunan gereja di salah satu desa di Kota Vinales yang tidak begitu besar tampak dipenuhi tamu undangan. Hanya beberapa orang yang menghadiri acara pernikahan sederhana ini. Terlihat simpel tetapi begitu nyaman nan asri dengan kesaksian beberapa bukit dari desa tersebut.

Giorzino Drix, sosok mempelai pria yang kini tengah menunggu calon istrinya. Ia sudah tidak sabar untuk mengikrarkan janji pernikahan di hadapan semua orang. Perasaan gugup terus melingkupi Gio di tengah-tengah aksinya yang sibuk menyapa para tamu yang tidak seberapa. Ia terus menarik napas, mencoba menghilangkan nervous di dalam dirinya.

Di sebuah ruangan di dalam gereja, sosok mempelai wanita masih sibuk merapikan make-up. Bibirnya terus mengembang melihat pantulan di cermin yang begitu menakjubkan. Myranda Lizza, seorang gadis cantik sederhana yang sebentar lagi akan berstatus sebagai seorang istri dari sosok yang sudah menjadi sahabatnya sejak kecil. Ia tidak menyangka, lelaki yang dulu sering ia kerjai sekarang akan menjadi suaminya.

Hatinya begitu senang, walaupun nyatanya semua itu bercampur dengan kegelisahan. Tatapan gadis itu tidak bisa dibohongi. Kesedihan tengah menerpanya. Bagaimana tidak? Di hari istimewa ini sang ibu malah tidak ada karena masalah kesehatan yang tidak memungkinkannya untuk datang. Bahkan sang ayah sama sekali tidak peduli akan acara pernikahan putri tunggalnya. Mungkin jika Lizza tiada pun ayahnya tidak akan merasa kehilangan. Padahal Lizza ingin sekali salah satu orang tuanya menjadi saksi acara sakral ini. Namun, apa boleh buat, ia tidak mungkin menjadi anak durhaka dengan memaksakan kehendak dirinya.

"Lizza, kau sudah siap? Semua orang sudah menunggumu di aula," ucap salah satu temannya yang juga ikut mengurus acara.

Lizza hanya mengangguk mantap, walaupun di dalam hatinya ia begitu gugup tidak karuan. Di umur yang masih terbilang muda —dua puluh tahun— ia akan melepas masa lajangnya. Sang teman pun menuntun pengantin itu dan mulai berjalan secara perlahan. Langkahnya tampak begitu anggun dengan gaun simpel berwarna green-gold yang senada bak menyatu bersama kulit putihnya.

Setelah pintu terbuka, semua para tamu langsung mengalihkan atensinya. Mereka terkagum-kagum dengan mempelai wanita yang secantik itu. Dada Lizza semakin bergemuruh karena rasa gugup akan tatapan semua orang. Namun, tetap saja matanya terus menelisik isi ruangan berharap ibunya ada di sana. Walaupun ia tahu, itu tidak mungkin terjadi.

Hatinya berdebar, tetapi juga merasa sesak sampai linangan air mata mulai menumpuk di sudut netranya. Ia sesak karena sosok yang begitu disayanginya tidak bisa mengagumi dan memuji dirinya seperti yang sedang para tamu lakukan. Lizza tidak begitu tersentuh dengan pujian banyak orang di depannya, tapi ia akan sangat terharu dan menghargai pujian dari satu orang yang sekarang mustahil datang, yaitu ibunya.

Gio yang mampu melihat perubahan wajah calon istrinya langsung melambaikan tangan, mencoba mengalihkan perhatian Lizza agar tidak hanyut dalam kesedihan di hari yang bahagia ini.

Lizza terkekeh kecil menyaksikan aksi Gio yang berdiri beberapa meter di atas podium di depan sana. Gadis itu semakin berusaha tersenyum lebar saat lelaki tersebut mulai mengayunkan kaki untuk menjemputnya. 

Langkahnya yang gagah nan tegap terus terayun tanpa sekali pun memalingkan tatapan dari gadis tujuannya. Gio merasa menjadi pria paling bahagia saat ini, karena cintanya sedari dulu tidak pernah berubah dan membuahkan hasil yang ia harapkan, yaitu sampai ke pernikahan.

Senyuman pemuda itu semakin mengembang kala dirinya sudah berdiri tepat di hadapan Lizza.

"Are you so beautiful," ucapnya pelan.

Lizza hanya memasang wajah malu atas tingkah calon suaminya.

"Mari, Tuan Putri." Gio melipat tangan, lalu menggandeng calon istrinya menuju altar. Mereka berjalan dengan dipenuhi rasa bahagia yang tiada tara. Tepuk tangan dan taburan bunga seolah menyambut pasangan tersebut.

Wanita Tak KuasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang