February's Last Week

208 23 0
                                    

Bibir merah muda yang sintal itu menyesap cokelat panas dari mug yang digenggamnya. Keningnya tiba-tiba mengernyit.

Aduh, panas.

Pun begitu, pikiran empunya bibir justru sibuk berlanglang buana. Dirinya mengingat kejadian beberapa hari sebelum ia akhirnya dapat duduk di sini dengan semug cokelat panas, sekaligus memandangi jalanan dari jendela besar di dekat si pemuda itu bersinggah.

Sebuah mobil sedan berhenti di depan suatu rumah kos. Tatkala yang muda sibuk melepas seat belt dan mengambil barang bawaannya, tanpa disadari pria bersurai klimis di samping memperhatikannya dalam hening. Menunggunya untuk sadar.

Iris karamel milik Yuuji Itadori pun melirik. “Ada apa, Kak Kento?

Boleh pinjam tangan kamu?” Sebuah tangan terulur.

Yuuji pun menerimanya dengan sepenuh hati. “Boleh, kok.

Jemarinya yang bertekstur agak kasar mengusapi punggung tangan si adik tingkat. Kento lantas menciumnya sekilas, kemudian melihat Yuuji dengan tatapan yang amat serius. “Yuuji, kalau kamu mau aku serius, aku bisa. Aku nggak akan main-main sama perasaanmu.

Bola mata Yuuji membesar. Setelah selama ini mereka hanya dekat tanpa kejelasan, kini Kento mengajak dirinya untuk menjalani hubungan yang lebih serius. Tak berbohong, Yuuji sedikit lega. Hatinya terasa aneh dan bimbang saat didekati oleh dua lelaki sekaligus, pun begitu keduanya tak memiliki gerak-gerik untuk bersungguh-sungguh di awal.

Tapi kalau kamu mau sama Toru juga nggakpapa. Aku nggak masalah. Seenggaknya aku tahu dia bisa memperlakukan kamu sama baiknya kayak aku.

Ya memang.

Namun Satoru Gojo sendiri tidak mendeklarasikan keseriusannya seperti Kento sekarang. Andai saja Satoru yang melakukannya, batin Yuuji. Sayang sekali.

Kutunggu jawabanmu, ya, Ji. Aku kasih waktu.

Benar, sayang sekali.

Andai Satoru yang mengajaknya berhubungan lebih. Sebulan hanya bersama raganya, tetapi hatinya ikut terbawa. Dan Yuuji Itadori tak pernah mengerti bagaimana perasaan Satoru pada dirinya. Semua tindakan yang dilakukan padanya—Yuuji sanggup mengakui—tidak membuatnya percaya sedikitpun. Padahal Yuuji hanya menuntut sebuah pernyataan singkat dan jelas untuk membuatnya yakin dan aman.

Semua ketidakjelasan ini membuat Yuuji telah memutuskan untuk mengambil posisi yang paling aman, posisi di mana tidak ada yang namanya rasa khawatir dan bertanya-tanya apakah seseorang itu mencintainya atau tidak—karena seseorang itu telah menyatakannya dengan lugas.

Dan dengan dirinya yang sedang menunggu kedatangan seseorang di kafe ini, Yuuji Itadori telah menemukan jawabannya.

Yuuji menghela napasnya dengan berat. “Bisa, Uji. Bisa.”

Lelaki yang ditunggu telah datang. Ia masuk ke kafe dengan terburu-buru, pun begitu langkah kakinya yang lebar tetap anggun dilihat. “Yuuji, udah nunggu lama ya? Aku baru selesai ngurusin magang, maaf ya.”

“Minum dulu, Kak. Santai aja,” jawabnya yang berusaha tersenyum. Tangannya menyodorkan segelas latte kesukaan Satoru.

“Makasih ya, udah dipesanin.” Yuuji mengangguk kecil.

Hening mengampiri. Kecanggungan memenuhi atmosfer, membuat Satoru menyentuh lehernya dengan kikuk. “Yuuji, maaf akhir-akhir ini jarang ngajak kamu pergi,” Yuuji dapat melihat kilat bersalah di manik samudra yang indah tersebut. “kamu tahu 'kan, magang.”

“Iya, Kak Toru. Uji juga tahu, dan nggakpapa.”

Bohong. Satoru berbohong. Dan ia menuturkannya dengan sempurna.

Something to LoseWhere stories live. Discover now