Lima belas dari n

1.3K 233 32
                                    

(15/n)

   Gira menyusul Benya yang langsung masuk ke dalam ruang kerjanya. Gira nggak berkata apapun pada Islan dan Boing, tapi seharusnya rautnya yang langsung suram ini sudah menegur mereka.

   Sementara itu, Benya duduk di kursi Gira dan memainkan ponsel. Wajahnya berkecamuk kesal dan muak. Sama sekali tak melirik Gira yang baru saja menutup pintu.

   "Mau balik sekarang?" tanya Gira pelan dan tenang. Seperti biasa, terdengar sangat ingin mengerti kekesalan Benya. Tapi di mata Benya kali ini, suaminya itu nggak berhasil sama sekali.

  "Balik ke mana? Emang ini bukan tempatku, ya, Ra?" Benya membalas satir. Terlanjur emosi. Terlanjur kecewa.

   Memang siapa yang bakal nggak emosi dilecehkan seperti itu? Dipikir ujaran nggak senonoh itu lucu? Dipikir hal kayak gitu keren? Dipikir hal seperti itu lumrah dibiarkan? Nggak!

   Benya berharap sekali tadi suaminya membelanya, tapi apa lah arti dirinya kalau dibanding teman-teman suaminya. Nggak ada. Itu yang bikin Benya kecewa. Itu yang bikin Benya selama ini merasa 'di pinggir'.

   Menyadari kekesalan Benya lebih dari serius, Gira mencoba lebih mendekati Benya. Dia berniat mengelus-elus kepala istrinya biar sedikit tenang, tapi sayang sekali langsung ditolak mentah.

   "Nggak tepat banget aku pulang hari ini. Ya, kamu lah, ya, temen-temen kamu lah, ya, Ayu. Begini kamu mau aku sering pulang, kamu mau aku betah di rumah ini? Muluk banget mintamu, Ra!"

   Gira tercenung, kaget sunggu. Nggak habis pikir dirinya, Benya sampai berkata begitu. Lebih nggak habis pikir lagi karena Benya sungguh mencurigai Ayu. Ayu tetangga mereka yang sudah saling kenal sejak remaja.

   Untuk poin yang pertama, tentu saja Gira sangat menyesal karena teman-temannya belum juga berhenti berengsek pada Benya. Tapi poin kedua itu rasanya Benya agak keterlaluan. Bersumpah pun Gira berani, dia nggak pernah dan nggak ada main serong dengan Ayu. Niat saja tidak pernah terlintas di pikirannya, apalagi melakukan itu.

   Prasangka Benya ini sudah kelewatan. Cuma karena nota belanja, bisa-bisanya Benya bersikeras mau membuktikan dirinya mengkhianati pernikahan mereka. Padahal Gira sudah jujur sepenuhnya. Itu cuma nota. Cuma kebetulan Gira dan Ayu belanja di waktu dan tempat yang sama dan belanjaan mereka jadi satu nota. Itu saja. Kedekatannya dengan Ayu juga cuma sebatas hanya bertetangga. Sudah. Lalu Benya curiga?

   Lalu seharusnya Gira bersikap bagaimana karena sudah menemukan kebohongan Benya soal pulang ke Jogja dengan siapa?

  Gira harus menodong Benya dan memaksanya mengaku? Bagaimana caranya melakukan itu tanpa membuat Benya tersinggung? Bagaimana caranya melakukan itu tanpa membuat dirinya sendiri terluka? Kasih tau Gira, dia baru akan melakukannya.

  Gira menyudahi pertengkaran di benaknya. "Ya udah, ayo ke Malioboro!"

   "Terus masalah selesai kalau sekarang aku ke Malioboro?" Entah sebab apa yang membuat Benya makin tersulut emosi kali ini. Oh, banyak.

   "Kamu beneran curiga sama Ayu, Ben? Terus dapat apa dari arisan tadi? Nemu buktinya?" Gira bertanya serius, tapi juga sarkas. Sekarang dia benar-benar tersinggung. Ini lah yang dia nggak ingin Benya sampai rasakan. Tersinggung karena dicurigai.

   Benya diam dan matanya bergerak pelan menjauhi tatapan suaminya. Dia memang nggak dapat apa-apa setelah mengamati gerak-gerik Ayu di dekatnya tadi. Nggak ada gelagat menyembunyikan sesuatu. Ayu seperti biasa, ramah, menanyakan soal butik, dan memberitaunya beberapa kejadian di Prawirotaman yang Benya lewatkan.

N?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang