PROLOGUE

1.3K 137 9
                                    

X=x=x=X

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

X=x=x=X

Lari! Lari! Lari!

Rasa takut menguasai seluruh tubuhnya. Tidak ada waktu untuk meratapi perihnya luka, sekarang yang ia pikirkan hanya lari, lari, dan lari. Firasatnya mengatakan bahwa belati berikutnya tidak akan meleset.

Ia bisa merasakan langkah kaki Raziel mengejarnya dari belakang. Entah itu memang nyata atau hanya halusinasinya belaka, ia tidak tahu. Yang pasti, ia tidak boleh berhenti berlari di sini. Persetan dengan kakinya yang telanjang dan lukanya yang kian terasa membakar.

Tanpa sadar, ia sudah berlari sampai ke taman samping istana. Ketika ia menoleh ke belakang, tetesan darah dari lehernya masih meninggalkan jejak.

Sial, ia tidak akan selamat dengan cara ini.

"Queirra!"

Suara itu! Suara yang sangat ia kenal!

Queirra menoleh. Ia bisa melihat Norvin masih menggenggam gunting taman di samping mawar-mawar itu. Queirra berlari menghampirinya. Satu tangannya menangkup luka di lehernya agar darah itu tidak menetes lebih banyak lagi, sedangkan tangan yang lain menyeret gunblade yang ukurannya tak sebanding dengan tubuhnya yang kurus kecil itu.

"Queirra, kau berdarah! Apa yang terjadi?!"

Dengan napas yang masih tersengal-sengal, Queirra meracau, "A-aku tidak ta-tahu. Ayahku—ayahku tiba-tiba—"

BRAKK!!!

Suara pintu yang dipaksa terbuka membuat mereka berdua terperanjat.

Norvin mencoba mencerna situasi yang sedang terjadi dalam hitungan detik. Tanpa ba-bi-bu lagi, ia menarik tangan Queirra untuk pergi menjauh.

"Norvin! Tunggu!"

"Shhh! Kemarilah!"

Norvin memandu Queirra melewati jalan setapak kecil yang dipagari tembok jangkung sampai keluar melalui pintu kecil di ujung jalan. "Ini jalan keluar-masuk yang biasa digunakan untuk pegawai Citadel. Aku akan membawamu keluar dari sini sampai kau selamat."

Queirra mengangguk. Entah sadar atau tidak—karena kehilangan darah sebanyak itu membuat fokusnya semakin redup dan tenaganya hilang.

Derap langkah prajurit makin lama makin terdengar kencang. Raziel pasti sudah memerintahkan mereka untuk memburunya entah sampai ke mana.

Queirra menahan tangisnya. Ia ingin pergi saja. Ke mana pun ... ke mana pun asal ia tidak kembali ke sini.

Norvin menarik Queirra untuk berjongkok di belakang semak-semak. Ia lalu berbisik, "Kau bisa mengungsi di asramaku sampai situasi reda. Lalu kau bisa kembali dan minta bantuan pada Tuan Franz."

A Broken Crown [✓]Where stories live. Discover now