01

3.1K 199 27
                                    

Ini adalah tahun keempat Jaemin masuk ke sekolah penyihir. Sama seperti tahun sebelumnya ia masih belum bisa menggunakan sihirnya. Entahlah, Jaemin juga bingung. Padahal kedua orang tuanya adalah penyihir yang hebat. Mustahil ia seorang muggle.









"Selamat pagi anak anak, apa kalian menikmati liburan kalian?"

"Tentu, Ssem!"

"Good. And sepertinya kita mendapatkan teman baru tahun ini." Kelas mulai ribut sesaat setelah guru park mengatakan itu.

"Tenang!" Kelas menjadi hening.

Guru park menoleh kearah pintu, mengayunkan tongkatnya hingga pintu terbuka.

"Silahkan masuk.." pintanya.

Dua pemuda masuk kedalam kelas itu. Guru park kembali menoleh kepada warga kelas.

"Mereka berdua adalah anak dari pengusaha sekaligus penyihir hebat, Lee." Guru park menoleh kearah mereka dan mempersilakan nya memperkenalkan diri mereka.

Seorang dari mereka berdua maju selangkah, "Saya, Lee Renjun."

Dan satu lainnya mengikuti, "Saya, Lee Jeno."

"Oh, baiklah Tuan Lee. Kalian bisa duduk.." Guru park melihat seisi kelas lalu mengayunkan tongkatnya, "..disana." dua bangku dan meja muncul disana.

Renjun dan Jeno berjalan menuju tempat duduk mereka. Pandangan warga kelas tertuju pada mereka.

Guru park mengetuk meja dengan tongkat sihirnya Mengalihkan perhatian warga kelas.

Guru park meredam singkat, "Ada rapat guru pagi ini, jadi buka buku kalian halaman 46 dan rangkum semua itu sampai halaman 57,"

"Hingga jam istirahat selesai, catatan kalian sudah ada dimeja ku." Guru park berjalan keluar dan --

Brak!

--menutup pintu dan memantrai nya erat hingga tidak ada yang bisa keluar hingga bell istirahat berbunyi.

Semuanya mulai mengerjakan catatan mereka. Sangat mudah karena dengan sihir mereka tidak perlu bersusah payah menulis, cukup menggerakkan tongkat mereka menyebutkan mantra dan biarkan pulpen mereka menulis dengan sendirinya. Tentu saja itu mudah, tapi tidak bagi satu anak.

"Owh lihatlah. Tuan Na kita sangat rajin sekali.. Bahkan dia menulis menggunakan cara manual." Hwang Hyunjin berdiri disebelahnya.

"Diamlah, Hwang. Kau tidak tahu apa apa." Jaemin meliriknya sekilas lalu melanjutkan tulisannya.

"Apa yang aku tidak tahu? Tidak tahu bahwa kau tidak bisa menggunakan sihir?" seisi kelas menahan tawa. Renjun dan Jeno yang tidak tahu apa apa hanya diam memerhatikan. Begitu pula Jaemin yang berusaha mengacuhkan nya.

"Aku ragu kau menyelesaikan nya, Na." Murid lain menimpalinya.

"Diamlah teman teman, tuan muggle kita tidak akan fokus dengan tulisannya." Seisi kelas tertawa, Jaemin membanting pulpennya lalu bangkit dari kursinya lalu berjalan masuk ketoilet yang berada di dalan kelas mereka.



"Jeno, ini cukup keterlaluan.." Bisik Renjun yang diangguki oleh saudaranya.




*****







Bell telah berbunyi lima menit yang lalu, dan Jaemin masih belum menyelesaikan catatannya.

Sementara dibelakangnya dua murid baru tampak sedari tadi memerhatikannya.

Jeno beranjak dari duduknya, berdiri disebelah Jaemin. Ia mengayunkan tongkatnya menyihir pulpen Jaemin.

Jaemin tentu saja terperanjat, berdiri dari duduknya ketika pulpennya melepas kan diri dan mulai menulis dengan sendirinya. Ia menoleh pada Jeno dengan tatapan tidak suka.

"Maaf, aku hanya berusaha membantumu.." Jeno tersenyum canggung.

"Tidak usah, sebentar lagi selesai. Dan cabut sihirmu." ia kembali duduk.

Jeno menurutinya, mencabut mantra dari pulpen itu sehingga kembali seperti semula.

Jaemin kembali melanjutkan tulisannya hingga selesai, dan segera menutup bukunya. Lalu ia melipat kedua tangannya dimeja dan membaringkan kepalanya disana.

Jeno dan Renjun pindah kedepan tempat duduk Jaemin, duduk menghadap belakang.

Renjun mengetuk pelan meja Jaemin dengan tangannya hingga Jaemin mendongakkan kepalanya.

"Maafkan adikku, dia memang semena.." Renjun meminta maaf.

"Tidak apa, aku tahu aku payah." Jaemin kembali menenggelamkan kepala dikedua lengannya.

Jeno dan Renjun saling pandang, "Kau tidak payah.. Kau mungkin hanya, spesial."

Jaemin mendengus mendengarnya, "Kau orang pertama yang mengatakan nya." ia berucap tanpa mengangkat kepalanya.

"Oh ya?"

"Hmm."

"Hey, kita belum berkenalan, ayo berkenalan."

"Tidak perlu. Aku sudah tahu nama kalian."

"Tapi kami belum tahu nama mu."

Jaemin mengangkat kepalanya, ia menatap kedua pemuda itu lalu bersuara, "Na Jaemin."

"Apa?"

"Na Jaemin. Aku tidak akan mengulangi nya lagi."

"O-oh.." Jeno meraih tangan Jaemin dan menjabatnya, "Senang bertemu denganmu, Jaemin."

Renjun juga melakukan hal yang sama.

"Oh iya, kenapa kau tidak kekantin?" Renjun bertanya.

"Tidak lapar, dan aku hanya pergi kesana bila ada yang mengajak ku." Jaemin menjawab.

"O-oh, begitu rupanya.." Renjun tersenyum canggung, ia merasa Jaemin bukanlah orang yang mudah didekati.

"Apa kau tidak mempunyai teman?" sekarang Jeno yang bertanya.

"Punya. Dia duduk disamping ku."

Jeni dan Renjun menoleh kesebelah Jaemin, melihat tempat itu kosong keduanya saling pandang.

"Hah?"

Jaemin mendengus geli dan tersenyum, "Dia bukan hantu, dia hanya tidak datang hari ini."

Dua bersaudara itu ikut tersenyum melihat senyum Jaemin. Sungguh, itu sangat...

Indah.

"Jaemin, bolehkah kami menjadi temanmu?"







Tbc.

Lanjut?

Magic || Jaemin HaremWhere stories live. Discover now