16 Hak untuk Hijrah

149 53 3
                                    

Kamala uring-uringan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kamala uring-uringan. Suasana hatinya turun drastis. Pertemuan dengan Nando dan Amara masih meninggalkan perasaan tidak nyaman di dirinya.

"Kam, ada tamu di lobi bawah. Minta ketemu sama elo."

"Siapa?" tanya Kamala pada rekannya yang baru saja kembali dari tugas luar.

"Namanya Sarah. Katanya dia sudah minta izin naik, tapi nggak elo izinin."

Gerakan tangan Kamala di atas tombol kibor langsung terhenti. Pandangannya membeku terpaku ke layar laptop.

"Buruan gih, kasih izin. Manis anaknya. Lumayan buat cem-ceman."

Kamala tak menggubris permintaan rekan kerjanya. Dia menunggu lelaki itu pergi sebelum mengirim pesan ke resepsionis bawah.

[Tolong bilang pada siapa pun tamu yang mencari. Saya sedang ada tugas luar. Minta mereka tinggalkan pesan untuk saya. Terima kasih.]

Wanita itu menghela napas panjang. Dia tidak suka kucing-kucingan dengan Sarah. Namun, apa daya. Kondisinya memang sedang tidak bersemangat untuk bertemu siapa pun.

Sejujurnya Kamala malah sangat ingin menutup akses komunikasi dengan semua orang. Keinginannya untuk tenggelam dalam cangkang kehidupannya dan mengisolasi diri dari dunia luar jauh lebih menggoda dibandingkan prospek mendapat rezeki dari bersosialisasi dengan orang lain. 

"Kam, ada deadline lagi nggak?"

Cangkang Kamala yang semula tertutup rapat kembali membuka. Sedikit. Hanya sedikit. Sekadar cukup untuk mengintip siapa yang bertanya padanya.

"Udah nggak," jawabnya jujur.

"Mau bantuin gue nggak? Ada proyek satu lagi ini. Minggu depan deadline, tapi gue baru kelarin tiga puluh halaman."

Kamala mengerjap-ngerjapkan mata. Dia tahu tabiat teman-teman kerjanya. Hanya baik kalau sedang ada butuh. Saat urusan sudah selesai, mereka akan kembali merisaknya dan menganggap diri mereka paling sepaling-palingnya.

Lalu Kamala teringat perkataan Ridwan. Sekali-kali dirinya perlu mengatakan 'tidak' pada permintaan orang lain. Khususnya jika permintaan itu berpotensi membuat kehidupannya yang damai jadi terganggu.

"Maaf, nggak bisa," tolak Kamala lirih.

Terjadi keheningan sejenak. Kamala mencoba tidak menatap temannya. Otaknya terus memproses satu rencana besar yang akan dilakukan bila naskah Syaron sudah masuk masa pra pesan.

"Sombong banget, sih. Mentang-mentang selalu jadi kesayangan bos."

Kepalan tangan Kamala terbentuk di samping laptop. Dia memejamkan mata. Telinganya mendengar suara langkah kaki menjauh disertai gumaman penuh kekesalan.

Kamala tidak peduli. Sejujurnya dia juga mulai tidak mau peduli dengan pandangan orang lain pada dirinya. Benak wanita itu hanya dipenuhi oleh penyakit yang kini tengah diderita. Kamala sudah tak sabar untuk mengeksekusi rencananya terkait ablasio retina yang dia derita.

Blasio NoteWhere stories live. Discover now