Satu

1.1K 127 8
                                    


Bab 1

"Ampun, Bu. Aku tidak membawa laki-laki ke rumah. Aku difitnah!"

Seorang gadis memohon kepada ibunya agar tidak mengusirnya dari kediaman yang sudah ia tempati selama 18 tahun terakhir.

Rumah ini merupakan peninggalan papanya yang sudah meninggal satu tahun yang lalu dikarenakan sakit.

Sementara ibu kandungnya sudah meninggal saat ia berusia 5 tahun. Pada usia 8 tahun, papanya menikah lagi dengan Reni dan membawa dua orang anak perempuannya.

Selama ini mereka selalu bersikap ketus jika berada di belakang papanya. Sementara di hadapan sang papa, mereka selalu pura-pura bersikap baik.  Tidak ada yang tahu perlakuan ibu dan kedua saudari tirinya. Bahkan, adik dan Kakak dari papanya 'pun tidak menyukainya lagi karena terlalu rajin dihasut oleh ibu dan dua saudari tirinya.

"Fitnah kamu bilang? Tidak mungkin anak-anakku memfitnah kamu. Kamunya saja yang kegatelan membawa laki-laki ke rumah. Pergi dari rumah ini, dan jangan pernah kembali lagi!"

Reni mengulurkan telunjuknya ke arah gerbang rumah agar Aluna segera pergi. Wajahnya memerah karena marah, sementara kedua putrinya yang lebih tua dari Aluna hanya menatap bengis gadis malang itu.

"Aku harus pergi ke mana, Bu? Aku tidak punya siapa-siapa lagi."

"Aku tidak peduli kamu mau pergi ke mana. Tapi, yang pasti, jangan pernah menampakkan diri kamu lagi di sini."

Reni membawa Rina dan Risa masuk ke dalam rumah kemudian mengunci pintu dari dalam agar Aluna tidak masuk.

Sementara Aluna yang mendapat pengusiran mengambil tas ransel berisi pakaiannya dan berkas-berkas pentingnya, melangkah keluar dari gerbang dengan pandangan sedih.

Gadis cantik itu menoleh ke belakang di mana rumah yang ia tempati selama 18 tahun terakhir akan ia tinggalkan.

"Aku harus ke mana?" Luna bergumam pada dirinya sendiri.

Gadis cantik itu kemudian mulai melangkah pergi meninggalkan komplek perumahan dan menyusuri jalan sambil air mata terus mengalir di pipinya. Ia bingung harus pergi ke mana, sementara adik-adik sang papa tidak mau menganggapnya lagi. Selama ini ibu dan kedua saudarinya selalu mengatakan jika ia bukan perempuan baik-baik. Selalu malas di rumah. Bahkan, dengan teganya mereka mengedit foto dirinya bersama laki-laki paruh baya. Padahal itu bukan dirinya sama sekali. Mau mengelak seperti apa pun, tidak ada yang mau percaya lagi padanya.

Di sisi lain Alisa yang baru saja pulang dari bermain segera menepuk pundak sepupunya yang lebih muda 1 tahun darinya.

"Mar-Mar! Berhenti!"

Marvin, si pemilik nama langsung menghentikan laju kendaraannya di pinggir jalan kemudian menoleh dengan mata melotot menatap sang sepupu.

"Bisa tidak, kakak tidak teriak-teriak? Kalau ada apa-apa sama kita di jalan, nanti aku yang dimarah sama mama."

Hidup satu atap selama 3 tahun bersama kakak sepupunya itu membuat Marvin harus menjaga emosi dan kesabarannya. Pasalnya, Alisa adalah keponakan kesayangan mamanya.

"Nanti saja kamu mau ngomelnya. Sepertinya aku kenal dengan perempuan di seberang sana."

Alisa menunjuk seberang jalan di mana terdapat sosok seorang gadis yang sedang menangis di pinggir jalan.

"Jelas kakak kenal. Itu Kak Aluna, sahabat kakak yang culun itu."

Alisa spontan memukul pundak Marvin tidak terima jika temannya dikatakan culun.

"Aluna bukan culun, dia cuma lebih pendiam aja."

"Sama aja."

"Ah, kamu tunggu di sini. Kakak mau lihat kenapa dia nangis di pinggir jalan. Ngomong-ngomong, tidak mungkin dia lagi mengemis 'kan?"

"Bukan ngemis, Kak. Dia itu lagi menangis bahagia," sahut Marvin kesal.

Alisa mendengus kemudian meminta Marvin untuk menunggunya di pinggir jalan, sementara ia menyeberang dan menghampiri sosok perempuan yang menangis di seberang jalan yang tak lain adalah sahabatnya, Aluna.

"Lun, kamu ngapain nangis di pinggir jalan? Kamu seperti perempuan teraniaya yang baru di usir dari rumah," tegur Alisa.

Gadis itu berdiri tak jauh dari posisinya berada. Sementara kedua tangannya diletakkan di kedua sisi pinggangnya sambil menatap Aluna yang berlinang air mata.

"Alisa."

Aluna kemudian menghampiri teman yang sudah akrab dengannya sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di SMA.

"Heh? Kamu kenapa, Lun? Siapa yang sudah buat kamu menangis? Sini, bilang sama aku, biar aku hajar," ujarnya menggebu-gebu. Tidak lupa, Alisa juga menepuk pundak sahabatnya pelan berusaha untuk menenangkan Aluna yang sejak tadi menangis.

"Ibu aku, Lis. Dia ngusir aku dari rumah. Terus, aku tidak ada tempat tinggal lagi sekarang."

Sambil tersendat, Aluna menjelaskan jika ia baru saja di usir oleh ibu tirinya pada Alisa.

"Waduh, ibu tiri kamu yang serem itu? Kalau itu aku 'sih tidak berani.  Habis wajah Ibu kamu seperti Mbah dukun. Eh, tapi Mbah dukun saja tidak serem," komentar Alisa. 

Alisa tidak bohong karena memang wajah ibu tiri dari temannya itu menyeramkan. Selalu memakai make up tebal, dengan eyeliner berlebihan yang terpasang di bagian bawah dan atas kelopak mata, bibir merah darah, dan rambut pendek sebahu. Bukan maksud ingin body shaming, wanita paruh baya itu juga akan terlihat semakin menyeramkan jika dia melotot. Alisa pernah melihatnya, dan sedikit trauma untuk bertemu dengan ibu tiri temannya itu.

Aluna tidak menyahut karena gadis itu masih terus menangis memikirkan nasibnya yang tidak tentu arahnya.

"Udah, dong. Kamu jangan nangis. Kalau kamu nangis, nanti aku yang dibilang marahin kamu,"  bujuk Alisa, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Oh, begini saja kamu ikut aku ke rumah tanteku dulu. Nanti kita kompromi kamu bakalan tinggal di mana. Mau?"

Aluna mengangguk kepalanya  meski tidak tahu mau ke mana dirinya setelah ini, kalau-kalau tantenya Alisa mengusirnya juga.

"Ya udah, ayo ikut aku. Itu Marvin udah tunggu kita di seberang jalan."

Aluna mengikuti arah telunjuk Alisa kemudian menatap gadis itu.  "Adik kamu bawa motor. Bagaimana caranya aku naik?"

Mendengar pertanyaan Aluna, tentu saja membuat Alisa memutar bola matanya.

"Ya, kita bonceng tiga. Badan kita 'kan kecil-kecil. Jadinya bisa untuk menampung 3 orang."

"Bukan muat untuk menampung 3 orang atau tidak. Tapi, nanti kalau kita ditilang polisi bagaimana?"

"Ah, tidak ada pak polisi. Hari ini seluruh polisi libur," sahut Alisa asal.

"Polisi tidak mungkin libur, Alisa. Kantor polisi adalah pelayanan 24 jam dan tidak bisa libur semaunya."

"Aku yang bilang barusan. Aku suruh mereka libur lewat telepati."

Tak mau menunggu balasan dari Aluna, Alisa kemudian menariknya menyeberang jalanan menuju tempat di mana Marvin berada.

"Vin, kenapa kamu tidak menyebrang aja bawa motor? Kenapa harus aku bolak-balik buat jemput Aluna jalan kaki?"

Sesampainya di motor Marvin, barulah Alisa sadar jika ia membuang waktu dengan berjalan kaki.

"Kakak yang tidak bertanya padaku." 

Marvin mendengus kemudian mereka akhirnya kembali ke rumah dengan Alisa yang berada di tengah, sementara Aluna di belakang sekali.

Di dalam hati, Aluna berdoa semoga saja tidak ada polisi yang akan menghentikan mereka.

SUAMIKU, PAMAN SAHABATKUOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz